Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/02/2016, 19:00 WIB
Ujung tombak pemberantasan sarang nyamuk yang menjadi sumber penularan penyakit adalah juru pemantau jentik. Sayangnya, kegiatan berbasis masyarakat di sejumlah daerah itu tak berjalan rutin, bahkan kehadirannya ditolak sebagian warga. Kini, tiap rumah diharapkan memiliki satu jumantik dari anggota keluarga.

Para juru pemantau jentik (jumantik) nyamuk berkeliling kampung, memeriksa tempat sampah, kebun, dan rumah warga. Tujuan mereka hanya satu: memburu jentik nyamuk.

Di RW 06, Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, misalnya, Jumat (19/2), sejumlah jumantik bersama petugas puskesmas setempat berkunjung ke rumah warga membawa formulir isian data dan hasil temuan jentik. Mereka ditarget memeriksa minimal 50 rumah sebulan.

Di dalam rumah warga, jumantik memeriksa tempat yang berpotensi ada jentik, seperti dispenser air minum, bak mandi, pot tanaman, dan ban bekas, dengan memakai lampu senter. Begitu menemukan jentik, para kader membantu menguras dan membersihkannya agar telur nyamuk di dinding tempat penampungan air tidak ada lagi. Penghuni rumah pun diedukasi bahaya jentik terhadap penularan demam berdarah dengue (DBD).

Menurut koordinator kader jumantik RW 06 Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, Mariam, jumantik bertugas menyosialisasikan bahaya DBD kepada warga. Selain itu, jumantik bertugas memeriksa jentik nyamuk di rumah warga.

Namun, kerja jumantik di lapangan tak selalu mudah. Salah satu kendala yang dihadapi ialah sulitnya menembus perumahan, terutama rumah berpagar tinggi. Ketukan jumantik di pintu gerbang pun hanya disambut gonggongan anjing penjaga.

"Kadang lama buka pintu, kami dikira minta sumbangan. Mereka mengaku sudah bersih, padahal kami pernah melihat bak di depan rumah banyak jentiknya," keluh Nurhayati (44), jumantik Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat.

Sekalipun dipersilakan masuk ke halaman rumah, jumantik tidak boleh masuk ke dalam rumah. "Mungkin mereka takut karena di kota besar marak perampokan rumah," ujar Mariam.

Meski demikian, Bunyana (52), jumantik di Kelurahan Menteng, bersiasat agar bisa menembus rumah mewah. Ia mengajak humas RT setempat sehingga pemilik rumah lebih terbuka. "Saat ditolak pemilik rumah, rasanya hati ini sakit," tutur perempuan yang menjadi jumantik sejak 2010 itu.

Lurah Menteng Agus Sulaeman mengakui, sebagian warga perumahan mewah enggan rumahnya dimasuki jumantik. Maka, warga yang menolak rumahnya diperiksa jumantik diberi surat pernyataan berisi tak bisa protes jika kena DBD. "Pemilik rumah di kawasan padat justru menyambut baik jumantik," katanya.

Kelurahan Menteng kini punya 138 kader jumantik, lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kader tahun lalu yang mencapai 200 orang. Itu karena ada perubahan peraturan gubernur yang menyebut satu RT hanya bisa memiliki satu kader jumantik. Pihak kelurahan setempat memberi pelatihan kepada jumantik sekali sepekan dan memeriksa ulang rumah yang didatangi jumantik.

Harus "nombok"

Sejauh ini, keberadaan jumantik masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah di sejumlah daerah. Padahal, jumantik berperan penting dalam memberantas sarang nyamuk yang menjadi sumber penularan berbagai virus yang ditularkan melalui nyamuk.

Di DKI Jakarta, honor maksimal bagi jumantik Rp 500.000 sebulan, terdiri dari honor tetap Rp 100.000 dan honor tak tetap Rp 2.000 per satu rumah yang diperiksa. Jumlah itu telah dinaikkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memotivasi kinerja jumantik. Jika tak menjalankan tugas, pemda bisa menegur dan memberhentikan jumantik bersangkutan.

"Untuk jadi jumantik itu dari hati. Ada tidaknya kenaikan honor, kami tetap jalan tiap Jumat. Ini jadi motivasi untuk terus mengingatkan semua warga," kata Tuti (47), warga Kelurahan Wijaya Kusuma, Jakarta Barat, yang 10 tahun jadi jumantik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com