Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/09/2016, 14:07 WIB

Oleh Agnes Aristiarini

Serbuan informasi kesehatan di media cetak, elektronik, apalagi informasi digital, ternyata tidak serta merta memudahkan orang memilih makanan yang sehat. Membeli produk makanan bertanda diet atau berkadar gula rendah, misalnya, betulkah berdampak baik pada tubuh?

Pemanis, seperti aspartam, sakarin, sukralos, dan stevia, banyak dijumpai pada produk-produk berkadar gula rendah. Sementara gula pasir, gula palem, banyak dijumpai pada produk yang lebih umum, meski banyak juga produk minuman dan makanan tanpa label diet yang menggunakan pemanis buatan.

Penggunaan pemanis buatan inilah yang banyak memicu kontroversi. Tahun lalu, perusahaan minuman ringan Pepsi menghapus penggunaan aspartam di Amerika Serikat. Alasan keputusan itu-menurut Pepsi, seperti yang dikutip BBC-murni komersial untuk merespons keinginan konsumen. Aspartam masih dibolehkan menurut peraturan di AS dan juga Inggris.

Diduga gara-gara aspartam, penjualan Pepsi diet turun 5 persen tahun 2014. Demikian juga dengan Coke diet, yang dikabarkan turun lebih dari 6 persen. Aspartam, juga dikenal sebagai E961, memang menjadi kontroversi dari sejak Lembaga Administrasi Obat dan Makanan (FDA) AS mengizinkannya untuk produk pangan komersial tahun 1981.

Suatu studi yang dipublikasikan Juli 2005 oleh Ramazzini Foundation di Bologna, Italia, mengklaim, tikus percobaan yang mengonsumsi aspartam dalam jumlah yang ekuivalen dengan konsumsi manusia, menunjukkan kecenderungan perkembangan tumor.

Meski FDA mengatakan ada lebih dari 100 studi lain yang menyatakan konsumsi aspartam aman, banyak konsumen yang kemudian mempertimbangkan alternatif lain.

Senyawa kimia

Aspartam ditemukan tahun 1965. Senyawa itu paling banyak digunakan dalam makanan dan minuman karena rasanya paling mendekati sukrosa. USFDA membolehkan penggunaan aspartam pada makanan kering tahun 1981 dan minuman berkarbonat tahun 1983. Tahun 1996, USFDA merekomendasikan aspartam untuk semua produk makanan dan minuman.

Kenyataannya, temuan bahan sintetis untuk pangan adalah bagian dari revolusi industri pangan karena murah dan tidak diperlukan dalam jumlah besar. Bahan tambahan pangan kemudian menjadi bagian yang tidak terhindarkan dalam kehidupan modern.

Amerika Serikat adalah contoh negeri yang paling banyak menggunakan pemanis buatan karena bisa memberikan rasa manis tanpa menambah kalori. Hal itu seiring dengan budaya AS yang memuja penampilan fisik.

Menurut survei Calorie Control Council yang diselenggarakan tahun 2010, lebih dari 186 juta orang dewasa Amerika sangat menjaga berat badannya. Lima dari sepuluh orang Amerika berupaya menurunkan berat badan dengan berolahraga, menakar proporsi makanan, dan menghindari gula dengan menggunakan gula rendah kalori.

Sebenarnya berbagai lembaga yang mengawasi keamanan pangan, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bertanggung jawab pada keamanan obat dan makanan di Indonesia, menerapkan ADI (acceptable daily intake) atau asupan harian yang diperbolehkan. FDA telah membuat standar ADI aspartam 50 miligram per kilogram berat badan. Sementara standar di Eropa lebih rendah: 40 mg per kg berat badan.

Di Indonesia, seharusnya produk bermerek dari industri pangan proses produksinya dikontrol BPOM, meski kenyataannya pemerintah telah kebobolan dengan vaksin palsu, obat palsu, maupun obat kedaluwarsa.

Namun, yang lebih berbahaya lagi adalah produk makanan dan minuman skala rumah tangga yang tersebar di toko sebelah rumah, kantin sekolah, dan warung-warung kaki lima, yang nyaris tanpa pengawasan, apalagi kontrol produksi.

Bagaimana kita mewaspadai semua ini?

Banyak informasi kesehatan yang menyarankan untuk memperbanyak konsumsi buah, sayuran, dan biji-bijian segar yang mestinya tak terkontaminasi bahan kimia tambahan. Menyiapkan sendiri makanan dan minuman, yang diolah dari bahan baku segar, memang yang terbaik. Namun, tidak perlu menjadi anti gula dan garam, misalnya, sepanjang penggunaannya tidak berlebihan.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 September 2016, di halaman 14 dengan judul "Menguji Si "Manis"".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com