Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Sejahtera Tidak Sama dengan Kaya

Kompas.com - 28/10/2016, 12:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Saat saya menulis ini, di luar sana orang sibuk menyiapkan suatu festival aneh dan asing bernama Halloween, ketimbang merayakan Sumpah Pemuda. Bahkan ada pasien yang mengeluhkan, anaknya yang belum duduk di bangku SD sudah disuruh menginap di sekolah dalam rangka ‘pesta piyama’ berbarengan dengan festival para hantu itu.

Mengadopsi hal-hal asing yang dianggap keren merupakan wabah yang mengatasnamakan globalisasi atau ‘tak terelakkan’, biar enggak kuper, katanya.

Padahal, jika ditelisik lebih dalam, masuknya perilaku-perilaku baru itu juga membawa investasi (baca: kepentingan) asing ikut bermain. Mulai dari pernak-perniknya, hingga penjajahan gaya baru yang melibas habis nilai kebangsaan seseorang.

Ketika sebagian kecil kelompok masyarakat memperingati lahirnya persatuan bangsa, dan sebagian lebih kecil lagi kelompok individu memperjuangkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, ini ada komunitas elit yang menyekolahkan anak balitanya dengan bahasa cas-cis-cus.

Bukan cuma bahasanya. Makanannya pun ‘londo abis’. Mulai dari pasta berkrim lelehan keju hingga kue warna warni yang namanya saja sulit dilafalkan.

Tidak sampai di situ. Promosi gila-gilaan menggempur sekolah-sekolah dengan pelbagai panganan aneh hingga produk susu. Seakan-akan anak yang tidak mengonsumsinya, dianggap kampungan, ndeso. Padahal di negri dari mana produk itu berasal, mereka dilarang keras masuk sekolah, apalagi melakukan promosi liar.

Negri ini sedang tumbuh berkembang, menggeliat menunjukkan karakter hakiki tentang siapakah orang Indonesia di abad 21.

Sudah waktunya dibutuhkan kehadiran negara, kepiawaian para pemangku otoritas untuk turun tangan cepat, sigap secara simultan di beberapa area sekaligus tanpa terpaku dan terpana pada satu isu (terutama soal jabatan dan kekuasaan). Politisasi tidak hanya terjadi di situ.

Penjajahan tidak lagi berupa penurunan bendera kebangsaan di depan istana kepresidenan dan menggantinya dengan bendera bangsa lain.

Penjajahan secara faktual terjadi saat publik tidak lagi paham makna ketahanan pangan lokal, ketika pilihan apa yang dimakan dan apa yang dihasilkan bumi pertiwi tidak lagi berimbang, ketika anak-anak mengira pizza dan udon adalah makanan sehat.

Dan semuanya dibiarkan, diamini bahkan. Tanpa ada imbangan jujur dengan apa yang sebenarnya bisa kita tampilkan sebagai upaya kesejahteraan tubuh alias menjadi sehat.

Jujur, saya kadang terpana tanpa kata dan menatap nanar deretan kalimat-kalimat nasehat gizi yang dilontarkan para pakar gizi. Begitu asing dan menyedihkan.

Sarapan dengan oatmeal dan buah beri. Makan siang pasta keju dengan salad buah. Makan malam ‘pan fried john dory’ dengan kentang kukus. Hah? Tadinya saya pikir sedang membaca berita terjemahan. Ternyata tidak.

Rupanya saya bisa jadi ahli gizi kategori kampungan. Karena selalu berteriak tentang ikan kembung acar kuning, garang asem ayam dan soto banjar. Belum lagi menyoal eksistensi kimpul dan ganyong – yang membuat jidat mahasiswa saya berkerut dalam.

Jangan sampai kita lupa, Indonesia ini bukanlah sekadar pulau Jawa, apalagi seputar pusat pembelanjaan Jakarta Pusat yang mewah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com