Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/03/2017, 22:02 WIB

KOMPAS.com - Menurut data Nielsen’s New Global Health and Ingredient – Sentiment Survey yang dilakukan di 63 negara menunjukkan bahwa, 80% konsumen Indonesia menjalani diet khusus yang membatasi konsumsi makanan atau minuman atau bahan-bahan tetentu.

Sebanyak 64% bersedia membayar makanan atau minuman yang tidak mengandung bahan yang tak diinginkan. Bahkan, 89% masyarakat Indonesia mengurangi konsumsi makanan/ minuman tinggi lemak, gula, dan karbohidrat.

Menurut Maria Lioe, event director penyelenggara Health Ingredients South East Asia 2017 yang akan digelar 22-24 Maret 2017, masyarakat Indonesia kini sudah semakin sadar dengan pola makan sehat dan rela mengadopsi pola makan khusus demi mencegah berbagai masalah kesehatan.

“Meningkatnya biaya kesehatan juga menjadi faktor pendorong untuk menjalankan pola makan sehat,” ungkap Maria.

Inilah yang kemudian menyebabkan tingginya minat terhadap bahan makanan yang bermanfaat bagi tubuh, sehingga muncul tren pangan fungsional.

Menurut Prof. Dr. C. Hanny Wijaya, Ketua Perhimpunan Penggiat Pangan Fungsional dan Nutrasetikal Indonesia, prinsip makanan fungsional adalah memiliki tiga fungsi yaitu, sebagai sumber nutrisi, sebagai pemuas cita rasa dan pemberi aroma, dan memiliki kemampuan fisiologis aktif untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan menjaga kebugaran.

“Untuk mendapat fungsi yang ketiga, kita harus menemukan bahan baku khusus. Misalnya, jahe selain untuk masakan juga bermanfaat sebagai anti inflamasi, meningkatkan imunitas,” jelas Prof Hanny.

Prof Hannya menambahkan, makanan fungsional sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Karena orang zaman dahulu mengandalkan makanan sehari-hari untuk menjaga kesehatannya. Selain untuk mengenyangkan perut, berbagai bahan makanan yang dikonsumsi juga punya manfaat untuk kebugaran.

“Orang zaman dulu kan enggak mengenal vitamin atau obat, mau berobat juga jaraknya jauh. Kok bisa tetap sehat? Ya dari makanan sehari-hari yang dikonsumsi. Jahe, kencur, kunyit, cabai, dan sebagainya. Di Sumatra misalnya ada andaliman, itu juga termasuk,” jelasnya.

Sayangnya, menurut Prof Hanny, Indonesia yang kaya dengan berbagai rempah dan bahan makanan ini masih belum bisa memanfaatkannya secara maksimal.

Belum ada standard kualitas sebagai bahan baku sebuah produk makanan sehat. Salah satunya karena petani masih kurang mendapat edukasi bagaimana menjaga kualitas panennya. Sehingga, seringkali untuk bahan baku yang sama, kualitasnya berbeda.

"Pernah kan kita dengar, orang protes merasa dibohongi minum jamu, karena enggak terasa manfaatnya. Salah satu penyebabnya karena kualitas bahan bakunya enggak sama antara jamu yang diminum kemarin dengan hari ini. Belum ada standarisasi," ungakpnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com