Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/03/2017, 10:24 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com - Kejadian bunuh diri di Indonesia amat mengkhawatirkan. Bukan hanya angka kejadiannya tinggi, tapi juga pilihan cara bunuh dirinya.

Berita terbaru yang menghebohkan adalah bunuh diri yang dilakukan PI, seorang sopir di Jakarta Selatan, yang menyiarkan langsung aksi bunuh dirinya di Facebook. Pria berusia 35 tahun itu diduga mengakhiri hidupnya karena putus asa dengan kondisi rumah tangganya.

Kasus bunuh diri yang direkam atau disiarkan di media sosial itu memang bukan yang pertama di dunia. Beberapa kasus juga terjadi di beberapa negara. Itu sebabnya sejak 1 Maret 2017 Facebook menyediakan fitur pencegahan siaran langsung bunuh diri.

Salah satu hal yang dikhawatirkan dari fenomena merekam aksi mengakhiri hidup adalah kecenderungan meniru (copy cat). Dalam dunia psikologi, hal itu disebut dengan Werther effect.

"Kalau pada mereka yang sedang depresi, berita tentang bunuh diri bisa membuat seperti 'ada teman' dan memunculkan ide untuk ikut bunuh diri," kata dr.Andri, SpKJ, psikiater dari RS Omni Alam Sutera Tangerang saat dihubungi Kompas.com (18/3/2017).

Itu sebabnya, menurut Andri, di Korea Selatan dan beberapa negara lain, media disarankan untuk tidak memberitakan secara detail kejadian bunuh diri, termasuk kasus yang dilakukan para artis.

"Pada orang yang sehat dan tidak ada gangguan depresi, reaksinya hanya ngeri saja melihat tayangan bunuh diri. Beda halnya dengan orang yang depresi dan punya kecenderungan bunuh diri," paparnya.

Bunuh diri bisa disebabkan karena beragam kondisi, seperti sakit hati, kecewa, kesedihan dan rasa bersalah mendalam, kehilangan harapan, atau depresi berat.

Ketika orang yang sedang dalam kondisi kejiwaan seperti itu menonton tayangan bunuh diri atau membaca berita bunuh diri, mereka akan berpikir bunuh diri adalah sesuatu yang tampaknya mudah dilakukan.

Komunitas kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri Into The Light Indonesia dalam siaran persnya juga mengajak agar masyarakat tidak berkomentar negatif dan membuat asumsi yang merendahkan, apalagi menghakimi orang yang bunuh diri.

"Hinaan, hujatan, penghakiman dan komentar negatif lainnya ini tidak hanya berhenti kepada orang yang meninggal karena bunuh diri, tapi dapat dibaca oleh orang lain yang mungkin memiliki kondisi kejiwaan serupa," tulisnya.

Lebih dari itu, orang dengan kecenderungan bunuh diri yang membaca komentar menghakimi tentang bunuh diri dapat membuat mereka semakin enggan mencari bantuan, padahal kondisi mereka sangat dapat dibantu dengan perawatan yang tepat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com