Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sakit Jiwa Tidak Selalu Butuh Obat

Kompas.com - 06/02/2012, 08:26 WIB

Oleh : dr.Andri,SpKJ *


Dalam praktik sehari-hari, saya sering menjumpai pasien-pasien yang hanya datang untuk mencari opini kedua ataupun bahkan ketiga. Dengan era keterbukaan dan informasi yang banyak saat ini, seorang pasien memang terkadang mencari ke berbagai informasi baik dokter maupun internet untuk mengetahui lebih detil tentang penyakit yang dideritanya. Maka tidak heran, saat ini orang bisa datang ke berbagai dokter sebelum memutuskan untuk menjalani terapi.

Pertanyaan yang sering diungkapkan oleh pasien kepada saya adalah “Apakah saya perlu obat untuk sakit saya ini?” Pasien menanyakan hal ini bukan tanpa alasan. Ketakutan akan ketergantungan obat adalah salah satu hal yang paling ditakuti jika berhubungan dengan obat-obat psikiatri. Walaupun makna dan pemahaman ketergantungan yang dimaksud pasien juga masih samar karena sulit membedakan antara kebutuhan atau ketergantungan akan obat seperti pada penyakit-penyakit lain misalnya : jantung, darah tinggi dan kencing manis.
Lalu apakah memang demikian ? Apakah semua pasien sakit jiwa memerlukan pengobatan untuk sakit jiwanya ?

Ringan sampai berat

Dalam berbagai kepustakaan dan praktik klinik sehari-hari, saya menemukan pasien dengan berbagai macam tipe keparahan sakitnya. Dari yang ringan sampai yang berat. Dari yang baru beberapa hari saja sampai yang sudah bertahun-tahun. Jenis dan lama penyakitnya pun berbeda-beda, dan ini yang sangat menentukan apakah pasien ini butuh obat atau tidak.

Jika berhadapan dengan pasien dan keluarga, saya selalu menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dengan pasien dan sakitnya. Saya menjelaskan bagaimana pasien bisa mengalami kondisi seperti yang dialami saat ini. Pasien juga diberikan kesempatan untuk bertanya tentang hal-hal yang menjadi pertanyaannya. Hal ini agar menyamakan komunikasi dan persepsi agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami penyakitnya.

Setelah itu saya biasanya akan menjelaskan tentang peran obat (farmakoterapi) dan peran psikososial spiritual (non-farmakoterapi). Saya menjelaskan bahwa obat pada berbagai kasus gangguan jiwa mutlak diperlukan seperti pada skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan waham. Sedangkan ada kasus-kasus yang mungkin masih belum perlu obat atau kalau perlu obat pun biasanya dalam jangka waktu tertentu dan tidak hanya peran obat yang diharapkan.

Artinya, pada beberapa kasus, peran terapi psikososial dan perubahan pola adaptasi pikiran dan perilaku pasien akan sangat berpengaruh. Contohnya adalah pada pasien gangguan cemas dan depresi denga keluhan psikosomatik yang sangat sering saya dapatkan di praktek.

Pada kasus-kasus ini, seringkali (apalagi yang didasari oleh gangguan kecemasan) pengobatan biasanya hanya untuk memfasilitasi daya adaptasi psikososial pribadi yang baik. Artinya, obat membantu menghilangkan gejala-gejala pasien sehingga membuat dia lebih mudah mengembangkan pikiran dan perilaku positif untuk mengatasi kecemasannya. Bisa anda bayangkan meminta orang dengan gangguan cemas panik berulang untuk berpikir positif ? Itu sangat sulit dilakukan, maka pasien perlu pengobatan dulu untuk memperbaiki sistem di otaknya, sambil mengembangkan daya adaptasinya. Untuk kasus-kasus seperti ini, kadang keperluan obat pada masa-masa awal dan tidak terus menerus.

Peran psikoterapi

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau