Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/01/2013, 08:15 WIB

Oleh AGNES ARISTIARINI

Sebagai penduduk negara tropis, bangsa Indonesia seharusnya tidak kekurangan vitamin D. Matahari menjadi sumber utama sinar ultraviolet beta yang membentuk vitamin D sehingga vitamin ini berlimpah di Nusantara.

Namun, meningkatnya kesibukan dan jumlah bangunan di kota-kota besar membuat banyak anak cenderung kehilangan sinar matahari pagi yang berkhasiat. Mereka harus berangkat sebelum matahari terbit untuk menghindari kemacetan dan tak banyak lagi ruang terbuka untuk bermain di lingkungan rumah dan sekolah.

Di kota-kota besar—terutama pada masyarakat kelas menengah—kekhawatiran terhadap keamanan lingkungan membuat anak-anak mereka jarang diperbolehkan bermain di luar rumah. Saat akhir pekan pun anak-anak lebih banyak diajak ke mal, apalagi di sana juga tersedia fasilitas bermain.

Khasiat besar

Padahal, khasiat vitamin D begitu luar biasa. Suatu penelitian yang pada Desember lalu dipublikasikan di jurnal Dermato-Endocrinology menyebutkan, vitamin D membantu mengurangi risiko berkembangnya autisme.

Penelitian di beberapa negara bagian Amerika Serikat itu berlangsung tahun 2010 pada anak berusia 6-17 tahun dengan tingkat prevalensi autisme yang bervariasi. Ternyata, di negara-negara bagian yang banyak disinari ultraviolet beta, kasus autismenya hanya setengah dari negara-negara bagian yang musim panasnya terbatas.

Tidaklah mengherankan apabila kekhawatiran akan terjadinya defisiensi vitamin D terus meningkat, terutama negara yang tidak sepanjang tahun disinari matahari. November bahkan menjadi bulan kewaspadaan vitamin D dan berbagai penelitian dilakukan dengan hasil yang mengagetkan.

Prof Mitch Blair dari Royal College of Paediatrics and Child Health, Inggris, Desember lalu menulis di BBC News bahwa separuh dari jumlah anak dan 90 persen dari populasi multietnik dewasa yang tinggal di Inggris kekurangan vitamin D.

Defisiensi vitamin D diketahui terkait erat dengan munculnya berbagai gangguan kesehatan pada anak-anak dan dewasa, seperti diabetes, tuberkulosis, multiple sclerosis, dan rakitis: gangguan pada tulang yang banyak dijumpai pada anak-anak miskin di Inggris.

Di Selandia Baru yang banyak bermandi sinar matahari, ada Universitas Massey yang meneliti status vitamin D anak dengan dana dari Health Research Council negeri itu. Anak-anak berumur 2-4 tahun direkrut sepanjang Agustus dan September 2012 untuk melihat korelasi kecukupan vitamin D dengan gangguan pernapasan, penyakit kulit seperti eksim, dan alergi.

Penelitian di Selandia Baru juga penting untuk mengukur peran sinar matahari pada pembentukan vitamin D karena hampir semua bahan makanan di negara tersebut masih bebas dari fortifikasi vitamin D. Meskipun vitamin D juga terdapat pada sejumlah makanan seperti minyak ikan, telur, dan jamur, kadarnya hanya 10 persen dari rekomendasi untuk kecukupan asupan.

Vitamin D tergolong hormon steroid yang produksi dan metabolismenya baru berlangsung saat kulit terpapar sinar ultraviolet beta. Sepanjang tiga dekade, defisiensi vitamin D diasosiasikan dengan berbagai penyakit seperti kanker, gangguan kardiovaskular, otoimun, dan diabetes. Namun, para peneliti di Universitas Massey juga berhasil membuktikan bahwa kekurangan vitamin D bisa memicu resistensi terhadap insulin sehingga memunculkan diabetes melitus tipe 2.

Upaya intervensi

Menurut Prof Mitch Blair, upaya mengatasi defisiensi vitamin D harus dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penyediaan suplemen vitamin D secara luas dan dengan harga murah hingga fortifikasi vitamin D pada berbagai jenis makanan dan minuman.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com