Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/04/2013, 10:53 WIB

Kompas.com - Deteksi dini infeksi HIV diyakini menjadi salah satu cara untuk mencegah penularan dan meningkatkan harapan hidup orang dengan HIV/AIDS. Karena itu pemeriksaan HIV menjadi penting. Namun karena adanya stigma pada ODHA di masyarakat, banyak orang yang enggan memeriksakan dirinya. Dengan pemeriksaan HIV secara mandiri di rumah, kekhawatiran tersebut bisa dicegah.

Para peneliti menjelaskan bahwa pemeriksaan mandiri yang dikombinasi dengan konseling dapat meningkatkan angka partisipasi deteksi dini dan pengobatan. Pada akhirnya hal tersebut akan menurunkan penularan HIV, virus yang menyebabkan AIDS.

Studi menunjukkan, pemeriksaan mandiri untuk HIV dapat dilakukan di rumah dengan cara mengambil sampel dari gusi. Pemeriksaan ini bersifat non-invasif, nyaman, pribadi, dan dapat menunjukkan hasil dalam 20 menit. Namun hasil tes juga perlu dikonfirmasi dari klinik kesehatan.

Studi yang dimuat dalam jurnal PLoS Medicine ini menganalisa 21 studi sebelumnya. Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa pemeriksaan mandiri dapat menghilangkan ketakutan dan stigma dari masyarakat.

"Sudah tiga puluh tahun epidemi HIV, namun belum ditemukan vaksinnya," ujar penulis utama studi dr. Nitika Pant Pai, peneliti klinis di Research Institute of McGill University Health Center di Montreal.

"Pengobatan sebagai strategi pencegahan sudah berhasil dilakukan, namun skrining HIV masih menjadi masalah, khususnya masalah sosial, yaitu adanya stigma dan diskriminasi," tuturnya.

Menurut badan PBB untuk Masalah HIV/AIDS (UNAIDS), secara global 50 persen orang dengan HIV belum tahu bahwa mereka terinfeksi. Padahal ada sekitar 2,5 juta orang yang terinfeksi setiap tahunnya.

Pant Pai dan timnya menekankan pada pembuat kebijakan di seluruh dunia untuk mempertimbangkan penyediaan pemerikaan mandiri untuk HIV.

"Dunia telah membuat kemajuan yang besar dalam alat medis, obat, dan strategi pencegahan dan penanggulangan HIV, namun belum pada stigma dan diskriminasi," ujar para peneliti.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com