Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/10/2013, 15:56 WIB
Wardah Fazriyati

Penulis


KOMPAS.com - Indonesia memiliki lebih dari 2.000 spesies tanaman alami yang berpotensi untuk pengobatan bukan sebatas pencegahan. Tradisi minum jamu juga terpelihara secara turun temurun, dan terbukti khasiatnya secara empiris. Namun, obat herbal masih menjadi pelengkap lantaran minimnya riset yang bisa memberikan bukti klinis khasiat herbal.

Kondisi ini membuat obat herbal lebih banyak dikonsumsi sebagai pelengkap. Juga tidak banyak dokter yang meresepkan, meski secara empiris banyak obat herbal yang berkhasiat mengobati penyakit. Sebut saja hipertensi, asam urat, serta sindrom metabolik atau kombinasi dari gangguan medis yang meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskular dan diabetes.

Riset SOHO Global Health menyebutkan, lebih dari 50 persen dokter belum meresepkan obat herbal. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, empat miliar orang atau 80 persen dari populasi dunia saat ini menggunakan obat herbal juga untuk beberapa aspek perawatan kesehatan primer.

Prof Nyoman Kertia, MD, PhD, Peneliti dan Pakar Temulawak Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, banyak obat herbal dikonsumsi sebagai pencegahan. Obat herbal biasanya diberikan sebagai komplementer, diberikan dengan jeda dua jam dari obat kimia. Ini dikarenakan khasiat obat herbal memang tidak secepat obat kimia.

Disamping itu, lanjutnya, pemakaian obat herbal yang masih terbatas juga karena tidak adanya bukti klinis. Dokter pada umumnya meresepkan obat, termasuk obat herbal, hanya jika obat tersebut telah teruji klinis pada pasien.

Prof Nyoman menyayangkan kondisi ini. Karena menurutnya, dokter sebenarnya bisa meresepkan obat herbal berdasarkan penelitian berbasis pelayanan.

"Dokter boleh memberikan obat herbal, koridornya penelitian berbasis pelayanan. Jadi, saat memberikan obat herbal, dokter juga harus mendata pasien. Karena bukti empiris pada sejumlah herbal cukup kuat, meski belum teruji secara klinis. Dokter bisa memberikan ke pasien, asal jangan keluar dari ranah ini," ungkapnya di sela pembukaan SOHO Global Health Natural Wellness Sanctuary, di Central Park, Jakarta, Kamis (10/1/2013).

Menurutnya, obat herbal dalam bentuk ekstrak dari tanaman seperti temu lawak, kunyit, jahe, memiliki bukti empiris, efektif berkhasiat sebagai antiradang, antimaag, meningkatkan nafsu makan, mengobati liver dan ginjal, meningkatkan vitalitas tubuh dengan kandungan antioksidan tinggi, juga bisa mencegah kanker.

"Jika rutin diminum dua kali sehari dengan dosis 30 mg berupa ekstrak untuk orang dewasa, obat herbal terutama temu lawak punya banyak khasiat bagi kesehatan tubuh," terangnya.

Konsumsi obat herbal dalam bentuk ekstrak lebih efektif penyerapannya dalam tubuh karena partikelnya yang lebih kecil. Meski masih minim, bukti klinis mengenai khasiat obat herbal perlahan semakin terungkap. Salah satunya, berdasarkan hasil riset di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu.

Ir Yuli Widiastuti, MKes, Peneliti Senior B2P2TOOT, Kementerian Kesehatan RI, mengatakan hasil penelitian pada 2012 di Tawangmangu menunjukkan racikan jamu memiliki efikasi setara dengan obat modern, untuk hipertensi dan asam urat.

"Terapi jamu berbasis rackan memberikan hasil positif pada pasien jamu berbasis riset di klinik di Tawangmangu. Kami memberikan jamu racikan bukan sirup yang komponen utaman ekstrak. Resep diberikan berdasarkan diagnosis dokter," ungkapnya.

Hasil uji klinis pada pasien di Tawangmangu ini, menurut Yuli, bisa ditindaklanjuti terutama oleh industri jamu, untuk mengemas jamu racikan agar bisa dinikmati khasiatnya oleh lebih banyak orang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com