Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dukung Presiden Aksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau

Kompas.com - 05/07/2014, 17:49 WIB

KOMPAS.com — Sejumlah tokoh nasional menyatakan dukungan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau atau FCTC. Hal itu bertujuan untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk rokok.

Dukungan itu disampaikan perwakilan para tokoh dalam jumpa pers di Griya Jenggala, Jakarta, Jumat (4/7). Tokoh yang hadir dalam acara itu antara lain Quraish Shihab, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek, Dewi Motik Pramono, dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi.

Dukungan pada presiden agar mengaksesi FCTC juga dikemukakan Todung Mulya Lubis, Taufiq Ismail, Marsilam Simanjuntak, Svida Alisjahbana, Anies Rasyid Baswedan, Amien Rais, Imam B Prasodjo, dan Arifin Panigoro. Dukungan mereka telah disampaikan secara tertulis ke presiden sejak Mei 2014.

Seto mengatakan, Indonesia punya generasi muda unggul yang bisa membawa bangsa Indonesia kian maju di masa depan. Namun, hal itu tak akan terjadi jika sejak remaja mereka merokok, yang terjadi justru mereka rentan berperilaku kriminal.

”Banyak anak merokok sejak taman kanak-kanak. Mayoritas anak yang terkait seks bebas, tawuran, atau geng motor yang saya temui adalah perokok,” ujarnya.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1995, 2001, dan 2004, serta data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 dan 2010, remaja kelompok umur 15-19 tahun yang merokok kian tinggi dari waktu ke waktu. Pada 1995, hanya ada 7 persen yang merokok, jumlah itu naik jadi 20 persen pada 2010.

Bahkan, umur mulai merokok kini makin muda, dari semula di kelompok umur 15-19 tahun beralih ke kelompok usia 10-14 tahun. Mereka yang mulai merokok di kelompok umur 10-14 tahun pada 2007 sebesar 16 persen, tetapi angka itu naik jadi 17,5 persen pada 2010.

Melihat data itu, menurut Seto, pemerintah tak bisa berpangku tangan. Jika pemerintah terus membiarkan remaja jadi sasaran industri rokok, itu sama dengan membiarkan remaja terbunuh.

Farid Moeloek menambahkan, remaja yang kecanduan rokok akan jadi beban kesehatan dan ekonomi di masa depan. Bonus demografi tak akan dirasakan Indonesia jika generasi muda tak bermutu, bahkan jadi beban.

Belanja rokok

Menurut Komaruddin, harkat martabat bangsa dan harkat martabat seseorang akan naik dengan pendidikan. Namun, tingginya konsumsi rokok di tingkat rumah tangga membuat pendidikan dan makanan bergizi terabaikan. Padahal, kedua hal itu menjadi unsur penting untuk membentuk sumber daya manusia unggul. ”Lalu, bagaimana generasi kita bisa kian kompetitif?” katanya.

Dewi Motik mengingatkan agar presiden memperhatikan masa depan bangsa yang ada di pundak remaja dan generasi muda. ”Meski mungkin anak cucu Pak SBY tak merokok, tetap saja punya risiko terpapar asap rokok orang lain di lingkungan sekitar. Ini sama bahayanya,” ujarnya.

Menurut Ketua Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau Kartono Mohamad, aksesi FCTC tak akan mematikan petani tembakau. Produksi tembakau negara-negara penghasil tembakau dunia, seperti Tiongkok dan Brasil, tak terganggu usai meratifikasi FCTC. Penyebab nasib petani tembakau terpuruk justru industri rokok yang cenderung memakai tembakau impor untuk menghasilkan rokok.

Kartono mengingatkan kembali komitmen presiden menandatangani Deklarasi Jakarta dalam Konferensi Menteri Kesehatan Negara-negara Islam ke-4 pada 2013. Deklarasi itu berisi desakan agar negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) segera meratifikasi FCTC.

”Buat apa membuat komitmen tetapi tak berani melakukannya, karena takut pada industri rokok. Lebih membela industri rokok daripada kesehatan masyarakat,” kata Kartono.

Quraish Shihab berkeyakinan presiden sudah mengetahui bahaya rokok dari sisi kesehatan. Karena itu, perlu dicari tahu mengapa presiden tak kunjung mengaksesi FCTC. (ADH/A12)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com