Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keluarga, Terapis Pertama dan Utama Anak Berkebutuhan Khusus

Kompas.com - 29/12/2014, 15:00 WIB

Oleh: Laraswati Ariadne Anwar

SUGIH mengangkat kedua kaki Kamila (4,5) dan memijat telapaknya. Perempuan yang juga Ketua Forum Komunitas Keluarga Anak dengan Kecacatan itu lalu menekuk lutut Kamila, sementara bocah perempuan tersebut berbaring telentang di atas karpet berwarna ungu. Di sebelah Sugih, Yani Hernawati, ibu Kamila, memperhatikan dengan saksama. ”Ayo, Bu, dicoba, atuh,” kata Sugih.

Yani segera mengambil alih posisi Sugih, lalu melakukan hal serupa. Mengangkat kaki putrinya, memijat tapaknya, lalu menekuk lutut. Gerakan itu dilakukan berulang-ulang selama lebih kurang sepuluh menit guna memberi terapi kepada Kamila. Anak perempuan itu menyandang disabilitas yang membuatnya terlambat berjalan meskipun usianya hampir 5 tahun.

Yani tidak menggubris hujan lebat yang mengguyur kota Bandung pada Sabtu (27/12) siang. Angin dan becek tak menyurutkan semangat para orangtua yang anaknya berkebutuhan khusus untuk mengikuti latihan terapi bulanan di Kantor Kelurahan Sukaluyu, Kecamatan Cibeunying Kaler, Bandung. Di dalam ruang serba guna berukuran 6 meter x 6 meter itu, ada enam anak berkebutuhan khusus berusia mulai dari 4 tahun hingga 12 tahun. Mereka ditemani ibu mereka serta para terapis dan pendamping dari organisasi Save the Children.

Selama dua jam, anak-anak menerima terapi dari para ahli, sesuai dengan disabilitas yang mereka sandang. Contohnya Adit (12), anak laki-laki kelas VI di SLB Cicendo, yang menyandang disabilitas tunarungu. Ia duduk di lantai, berhadapan dengan Hendri, terapisnya. Hendri memperlihatkan Adit berbagai kartu yang masing-masing bertuliskan anggota badan manusia.

Ketika Hendri menunjukkan kartu bertuliskan ”paha”, misalnya, Adit spontan menunjuk pahanya sendiri. Itu menandakan Adit paham ucapan Hendri. Setelah itu, Hendri meletakkan tangan Adit di depan mulutnya. Lalu, ia mulai berkata, ”pa-ha”. Setiap huruf dilafalkan keras, gerakan bibir juga harus jelas.

Biasanya, penyandang tunarungu tidak memiliki masalah dengan otot mulut. Namun, karena tidak bisa mendengar, pelafalan mereka tidak sempurna. ”Penting bagi penyandang tunarungu untuk meletakkan tangan di depan mulut dan di leher guru untuk merasakan embusan napas dan getaran ketika melafalkan kata,” ujar Hendri. Adit pun mengulang kata yang diucapkan Hendri, ”pa-aaa”.

”Bukan ’pa-aa’, tetapi ’ha’. ’Pa-ha’,” ucap Hendri. Dengan menggunakan bahasa isyarat, ia menyuruh Adit meletakkan tangan di depan mulutnya dan mulut Hendri sambil berulang-ulang mengucap ”pa-ha”. Akhirnya, Adit bisa melafalkan ”paha” dengan baik.

Kumpul di Kelurahan
Setiap satu kali dalam sebulan, para anak berkebutuhan khusus beserta orangtua mereka berkumpul di kantor Kelurahan Sukaluyu untuk mengikuti terapi. Total, ada 21 anak berusia 0-18 tahun dengan berbagai kebutuhan khusus yang ikut serta. ”Sekarang, karena sedang liburan, cuma sedikit yang datang,” kata Tien Suhartini, Koordinator Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Sukaluyu.

Program RBM merupakan besutan dari organisasi Save the Children yang menekankan bahwa keluarga adalah terapis pertama dan utama bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Alasannya, keluarga merupakan tempat anak meluangkan sebagian besar waktu. Peran keluarga dalam merehabilitasi dan memandirikan anak berkebutuhan khusus amat penting.

Di samping itu, survei Save the Children menemukan bahwa banyak keluarga tidak memahami cara mendidik anak berkebutuhan khusus. Manajer Proyek Save the Children Wiwied Trisnadi menuturkan, sering kali anak berkebutuhan khusus dianggap bodoh. Mereka kerap dibentak dan diberi hukuman fisik karena sulit menyerap pelajaran ataupun perkataan orangtua.

”Jadi, terapi ini sebenarnya tidak cuma untuk kesehatan anak, tetapi juga untuk mendidik orangtua cara memberi perhatian kepada anak berkebutuhan khusus,” tuturnya.

Program RBM sengaja memilih tempat umum, seperti kantor kelurahan, untuk mengadakan terapi. Tujuannya untuk menjangkau masyarakat luas, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Warga yang datang membawa anak-anak untuk diterapi umumnya mencari nafkah sebagai buruh pasar dan pekerja serabutan. Mereka tidak hanya warga Kelurahan Sukaluyu, tetapi juga dari Kelurahan Cihaurgeulis yang berjarak 500 meter dari Sukaluyu.

Ruang serba guna di kantor kelurahan juga bisa menampung belasan hingga puluhan orang. ”Kalau di klinik fisioterapi atau rehabilitasi lain, orangtua enggak terlibat dengan proses pemulihan anak. Semua dikerjakan dokter atau terapis di ruangan tertutup,” ungkap Sugih.

Menurut dia, RBM menuntut agar orangtua terlibat langsung dan penuh dengan rehabilitasi anak. Hal-hal yang dipelajari di kantor kelurahan nanti harus diterapkan di rumah.

Dampak dari terapi keluarga tersebut terasa positif. Yani Hernawati menuturkan, ketika pertama kali membawa Kamila untuk terapi pada Mei 2014, anak balita itu sama sekali belum bisa berjalan. Setelah menjalani terapi sebanyak tujuh kali, Kamila bisa berjalan meskipun masih harus digandeng. ”Kamila juga menjadi percaya diri. Ia bisa bermain dengan anak-anak lain,” ungkap Yani.

Masih malu
Walaupun terbantu dengan adanya RBM, belum banyak orangtua dari anak penyandang disabilitas yang menyadari manfaat program itu. Juju, Lurah Sukaluyu, mengungkapkan, ada beberapa warga Sukaluyu yang enggan bergabung dengan RBM karena malu. ”Mereka belum siap secara terang-terangan membawa anak di depan publik. Namun, kader-kader RBM terus melakukan pendekatan. Semoga, setelah melihat dampak positifnya terhadap anak-anak yang ikut RBM, hati mereka yang enggan itu bisa luluh,” ucap Juju.

Masih banyak anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan penanganan. Data Save the Children hingga tahun 2014 di Provinsi Jawa Barat saja, ada 187.000 anak berkebutuhan khusus. Namun, yang efektif ditangani oleh organisasi itu berjumlah 3.000 anak.

”Di satu sisi, belum ada penanganan serius dari pemerintah. Di sisi lain, masih banyak orangtua menyembunyikan anak dari publik. Padahal, anak berkebutuhan khusus memerlukan pendidikan dan sosialisasi,” kata Wiwied.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com