Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/10/2015, 14:39 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Hingga 70 tahun Indonesia merdeka, kematian ibu melahirkan masih jadi masalah pelik. Meskipun sejumlah upaya dilakukan, kematian ibu saat menghadirkan kehidupan baru bagi bangsa masih tinggi.

Tingginya kematian ibu melahirkan di Indonesia yang termasuk tertinggi di Asia sejatinya menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi kaum ibu.

Disahkannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-70 di New York, Amerika Serikat, akhir September lalu, menandai berakhirnya upaya global mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Salah satu target MDG Indonesia yang tak tercapai ialah menekan angka kematian ibu (AKI).

MDG yang disepakati pada 2000 menargetkan angka kematian ibu ditekan hingga 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015. Nyatanya, AKI menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 masih 359 per 100.000 kelahiran hidup. Mayoritas penyebab kematian ibu ialah perdarahan (37 persen), infeksi (22 persen), dan hipertensi (14 persen).

Tahun 2007, AKI sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2002 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Lepas dari perdebatan kesahihan data itu, AKI Indonesia masih tinggi, setara angka kematian ibu melahirkan di Kamboja dan Myanmar.

Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, Sabtu (3/10), di Jakarta, mengatakan, tingginya kematian ibu melahirkan merupakan cerminan buruknya layanan kesehatan dasar di Indonesia. Kematian ibu sebenarnya bisa diantisipasi karena sebenarnya kondisi ibu hamil sehat.

Persoalannya, kematian ibu melahirkan masih dianggap soal kesehatan semata. Padahal, kematian ibu hanya masalah hilir dari berbagai kondisi yang membuat kehamilan ibu berisiko tinggi. Di balik kematian ibu, ada berbagai masalah mendasar di sektor kesehatan, sosial ekonomi, pendidikan, infrastruktur, budaya, hingga rendahnya komitmen politik pemerintah.

Di beberapa daerah, angka kematian ibu tinggi tak hanya disebabkan faktor kesehatan, tetapi juga nonkesehatan. Di Kabupaten Pandeglang, Banten, misalnya, warga memilih bersalin dibantu dukun bayi (paraji) daripada bidan. Di Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Pringsewu, Lampung, banyak kematian ibu melahirkan karena pendarahan yang terlambat dirujuk. Pengambilan keputusan oleh keluarga lambat.

Di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, akses warga pada fasilitas kesehatan amat terbatas. Hanya ada 1 puskesmas, 2 puskesmas pembantu, dan 1 pondok bersalin desa bagi 19 desa di Pipikoro. Tak semua desa punya bidan desa.

"Kematian ibu jadi indikator kuat derajat kesejahteraan bangsa, tak hanya derajat kesehatan," ucap Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Agustin Kusumayati. Tingginya AKI jadi gambaran pembangunan bangsa karena penyebabnya kompleks.

Kematian ibu adalah buah dari beragam persoalan. Berbagai masalah itu mulai dari buruknya kondisi gizi janin hingga mereka jadi calon ibu, rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi, tingginya kasus pernikahan usia remaja, kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, ketaksetaraan jender, hingga sistem layanan kesehatan ibu hamil tak sesuai budaya.

"Jika tak segera ditangani, itu berdampak buruk bagi manusia Indonesia," kata Koordinator Sapa Institute Sri Mulyati. Sapa Institute juga mendampingi ibu hamil yang jadi korban kekerasan oleh suami sehingga kesehatan janin dan ibu terganggu.

Menurut Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, masukan kesehatan tak menunjukkan mutu layanan seharusnya. Misalnya, sebagian bidan tak tinggal di desa itu. (MZW/ADH/CHE/BAY/GER/AIK/FRN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com