Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/12/2015, 08:00 WIB
SLEMAN, KOMPAS — Setelah berjalan dua tahun, pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di tujuh provinsi di Indonesia dievaluasi di Yogyakarta, Kamis-Sabtu (3-5/12).

Harapannya, dinamika implementasi JKN, baik di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun rumah sakit, bisa menjadi masukan bagi pelaksanaan JKN tahun 2016.

Ketujuh provinsi tersebut ialah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan yang merupakan provinsi terakhir yang dievaluasi. Evaluasi kali ini merupakan yang keempat kali. Sebelumnya evaluasi dilakukan di Bandung, Makassar, dan Batam.

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) Kementerian Kesehatan Donald Pardede, Jumat, mengatakan, hasil evaluasi akan berguna untuk menyempurnakan sistem yang ada.

Semua hal, mulai dari kapitasi, pengalaman puskesmas menerapkan JKN, tarif Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs), pengalaman implementasi JKN di rumah sakit, pengendalian pembiayaan JKN, hingga keberlangsungan JKN, akan dibahas.

Menurut Donald, salah satu persoalan yang terlihat di semua daerah adalah masih belum berubahnya kultur pelayanan kesehatan.

"Pelayanan primer yang belum kuat menyebabkan rujukan berjenjang belum berjalan. Akibatnya, beban pembiayaan di tingkat rujukan sangat besar. Sebanyak 80 persen biaya kesehatan di JKN mengalir ke rumah sakit," ujar Donald.

Dari sisi kepesertaan, pertumbuhan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berjalan baik.

Saat ini sekitar 154 juta penduduk Indonesia sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan. Akan tetapi, pertumbuhan kepesertaan ini tidak diikuti dengan pertumbuhan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. "Pertumbuhan peserta berjalan seperti deret ukur, sedangkan penambahan fasilitas kesehatan seperti deret hitung," ujar Donald.

Masih defisit

Dari sisi keberlanjutan program, defisit diperkirakan masih akan terjadi sekalipun tahun depan iuran PBI naik dari Rp 19.225 per peserta per bulan menjadi Rp 23.000 per peserta per bulan.

Kepala Puskesmas Srandakan, Kabupaten Bantul, DIY, Anugrah Wiendyasari menyampaikan, ada banyak persoalan di puskesmas selama bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Di antaranya, puskesmas tidak mengetahui data nama dan alamat peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar. Akibatnya, puskesmas tidak bisa optimal melakukan upaya promotif preventif. Padahal, mereka dituntut melakukan kontak komunikasi yang intensif dengan peserta.

"Bertambah dan berkurangnya peserta belum mendapat penjelasan dari BPJS Kesehatan. Akhirnya pelayanan kunjungan ke rumah juga kami lakukan dengan selektif," ujar Anugrah.

Di samping data peserta, kemampuan puskesmas menangani 144 diagnosis penyakit juga belum optimal. Penyebabnya adalah keterbatasan kompetensi dokter yang ada. Contohnya, pelayanan tetanus, HIV, dan diagnosis mata.

Pelayanan rujuk balik juga belum berjalan baik karena peserta cenderung memilih datang ke rumah sakit daripada puskesmas.  (KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau