Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Berkebutuhan Khusus Butuh Penanganan, Bukan Air Mata

Kompas.com - 12/12/2015, 09:10 WIB
KOMPAS.com - Memiliki anak yang sehat, aktif, dan cerdas tentu menjadi dambaan semua orangtua. namun, tak semua harapan itu selalu terwujud. Tak sedikit orangtua dari Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang merasa mimpinya hancur. Menerima kenyataan menjadi kunci penanganan pertama anak berkebutuhan khusus.

Menurut psikolog Roslina Verauli M. Psi, dari perspektif klinis, anak berkebutuhan khusus biasanya disebut sebagai anak dengan tumbuh kembang yang abnormal. Disebut abnormal, lanjutnya, karena memiliki beberapa perbedaan dengan anak normal.

Pertama, dalam tumbuh kembangnya anak mengalami distress. Kedua, kondisi ini membuat anak terganggu kemampuan berfungsi dalam sehari-hari, antara lain bermain, belajar, dan bersosialisasi. Ketiga, anak berisiko untuk memiliki gangguan atau masalah yang lebih berat.

“Kalau tiga hal ini ada pada anak, berarti dia abnormal,” ujar Verauli. Dengan kondisi anak seperti tersebut di atas, tak heran banyak orangtua yang syok dan sulit menerima kenyataan. Apalagi, ciri-ciri ABK sebagian sudah terlihat sejak awal lahir.

“Anak orang lain sudah bisa senyum-senyum, dia belum bisa. Selanjutnya, anak seusianya sudah mulai bisa menalikan sepatu atau bicara, dia belum,” Verauli memberi contoh.

Menurutnya, bila anak biasa memiliki kurva normal rata-rata, ABK memiliki kurva normal di luar rata-rata. “Kalau dia kurvanya ekstrem kanan, tingkat kecerdasannya sangat tinggi, tapi jadi sering mengganggu orang lain atau teman-temannya yang sedang belajar di kelas, misalnya. Sedangkan kalau dia ekstrem kiri, tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata,” jelas Verauli

Ia menambahkan, anak-anak berkebutuhan khusus biasanya juga disebut anak spesial. Sesuai namanya, maka kebutuhan, pola pengasuhan, dan pendidikannya juga spesial, karena kebutuhannya berbeda dari tumbuh kembang anak pada umumnya.

“Nah, yang paling pertama harus dilakukan orangtua adalah menerima kondisi anak apa adanya lebih dulu. Kalau belum bisa menerima, lebih baik konseling lebih dulu ke pakar,” tuturnya.

Konseling Keluarga

Verauli mengatakan, wajar bila pada awalnya perasaan orangtua hancur saat mengetahui anaknya termasuk anak spesial.

“Tapi perlu diingat, anak tidak butuh patah hati dan air mata kita. Yang dia butuhkan adalah penanganan. Jadi, terimalah kenyataan bahwa anak kita memang berbeda. Itu dulu yang penting. Lebih cepat kita bisa menerima, lebih cepat anak bisa ditangani dan kita lebih cepat tahu apa kebutuhannya. Lalu, ikuti urutan penanganannya,” tandas Verauli yang juga memiliki anak spesial.

Namun, lanjutnya, bukan hanya orangtua saja yang harus bisa menerima kondisi ABK. Anggota keluarga lainnya seperti kakak dan adiknya juga harus bisa menerima dan bersikap terbuka. Itu sebabnya, seluruh keluarga disarankan mengikuti konseling.

Setelah bisa menerima apa adanya, barulah melangkah ke tahap selanjutnya yaitu belanja pakar sebanyak-banyaknya.

Setelah menemukan pakar yang dirasa cocok, anak bisa menjalani terapi-terapi sesuai anjuran pakar. Verauli menyarankan untuk mencari pakar yang sesuai dengan tumbuh kembang anak.

Ia menambahkan, tak masalah bila orangtua terlambat mengetahui, yang penting segera menerima dan memberikan penanganan terbaik. Ini lebih baik daripada tidak memulai sama sekali.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com