Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sinyal Keberpihakan Pemerintah pada Industri Rokok Sepanjang 2015

Kompas.com - 23/12/2015, 13:59 WIB
Dian Maharani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Tahun 2015 tinggal menghitung hari. Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbayak nomor tiga di dunia, belum juga menyetujui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau yang diusung oleh World Health Organization (WHO).

Harapan segera diratifikasinya FCTC selalu melambung tinggi setiap kali Indonesia berganti pemimpin.

Nyatanya, di awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia belum juga meratifikasi FCTC. Hal ini menempatkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum menyetujui FCTC.

Sebanyak 180 negara telah meratifikasi FCTC dan hanya tersisa 7 negara yang belum, yaitu Indonesia (Asia), Andorra (Eropa), Eritrea (Afrika), Lietchtenstein (Eropa), Monaco (Eropa), Malawi (Afrika), Somalia (Afrika).

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Emil Salim mengatakan, kuatnya lobi industri rokok kepada pemerintah menyebabkan Indonesia tak segera meratifikasi FCTC.

Padahal, pengendalian tembakau dengan adanya FCTC sangat dibutuhkan untuk melindungan generasi bangsa dari bahaya rokok.

Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo pun menilai, pemerintah masih berpihak pada industri rokok dibanding kesehatan masayarakat.

“Kalau di negara lain, ratifikasi FCTC hanya berhadapan dengan industri rokok, tetapi kita di Indonesia juga berhadapan dengan pemerintahnya sendiri,” ujar Tuti dalam diskusi Kaleidoskop Pengendalian Konsumsi Rokok 2015: Quo Vadis FCTC? Di Jakarta beberapa waktu lalu.

Tuti mencatat berbagai sinyal keberpihakan dan kemesraan pemerintah dengan industri rokok sepanjang tahun 2015. Berikut catatannya:

1. Pada Februari 2015, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengumumkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan masuk dalam prolegnas prioritas 2015.

Tuti mengatakan, RUU Pertembakauan ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2013. Saat itu, Menteri Kesehatan telah mengirim surat menolak RUU Pertembakauan. Namun, beberapa fraksi mengusulkan kembali RUU Pertembakauan masuk dalam prolegnas.

Sejumlah pihak pun menolak adanya RUU Pertembakauan. Namun, saat ini RUU Pertembakauan kembali masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2016. Menurut Emil, industri rokok ada di balik pembahasan RUU Pertembakauan.

2. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa melakukan kunjungan ke suku anak dalam Jambi sambil membagikan makanan, pakaian, rokok pada Maret 2015. Mensos mendapat protes keras dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Namun, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menilai tindakan Mensos tidak salah, karena rokok barang legal dan merupakan bahasa kultural.

Tuti mengatakan, dalam peraturan pemerintah, telah diatur bahwa pemerintah tidak boleh membagikan rokok, memberikan potongan harga, atau memberikan hadiah produk tembakau kepada masyarakatnya.

3. Pada April 2015, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM disebut akan menggelar rapat untuk membahas keberatan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) tentang adanya Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2015 mengenai Larangan Reklame Rokok di Jakarta.Padahal, masalah rokok ini tentu bukan ranah Kemenkopolhukam.

Beredar surat undangan rapat koordinasi dari Kemenkopolhukam. Namun, belakangan, adanya agenda rapat itu dibantah. “Bagaimana keberpihakan pemerintah bisa kita lihat di sini,” ucap Tuti.


4. Juli 2015, Menteri Dalam Negeri menghadiri MoU Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dengan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Sampoerna Foundation, PT U Connectivity Services (UCS), dan Yayasan Pendidikan Adiluhung Nusantara (YPAN).

5. September 2015, Kementerian Perindustrian menerbitkan Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau 2015–2020 melalui Permenperin 63/2015 terhitung 10 Agustus 2015. Kemenperin menetapkan pertumbuhan produksi rokok pada 5-7,4 persen.

Peta jalan ini dinilai sangat berpihak pada industri rokok dan bertentangan dengan peta jalan Kementerian Kesehatan yang ingin menurunkan prevalensi merokok.

Sebelumnya, pada November 2014 lalu, Menteri Perindustrian Saleh Husin juga melakukan kunjungan kerja ke pabrik rokok PT. Djarum.

Sayangnya, kunjungan kerja itu membahas roadmap produksi IHT 5 tahun mendatang. Selain itu, Kemenperin juga menyatakan Indonesia tidak perlu aksesi FCTC karena hanya akan menghambat ekspor rokok Indonesia.

6. Pernyataan mengejutkan juga datang dari Panglima TNI Gatot Nurmantyo pada Oktober 2015. Ia menilai FCTC adalah Proxy War, yaitu regulasi internasional untuk memasukkan rokok putih melawan rokok aromatic atau kretek.

Menurut Gatot, menolak FCTC adalah sikap nyata bela negara. “Bukan kewenangan panglima TNI menyatakan hal ini,” jelas Tuti.

7. Pada Oktober 2015, Presiden Joko Widodo juga menyepakati ekspansi Phillip Morris sebesar 1,9 dollar AS dengan rincian 500 juta dollar AS untuk belanja modal dan 1,4 miliar dollar AS berupa penerbitan saham baru Sampoerna.

Belanja modal itu untuk perluasan pabrik dan perkantoran serta investasi yang akan dilakukan dalam kurun waktu 2016-2020. Indonesia adalah penghasil daun tembakau kelima terbesar di dunia.

“Kenapa Presiden menyetujuinya? Bagi beliau itu sebagai investasi, tetapi tidak memperhitungkan dampak investasi. Tidak semua investasi baik. Kesehatan masyarakat itu lebih penting daripada uang,” kata Emil lagi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com