"Resisten antibiotik membuat penyakitnya lama sembuhnya atau enggak sembuh-sembuh dan bisa menyebabkan kematian," ujar Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba ( KPRA) Kementerian Kesehatan RI, dokter Harry Parathon dalam diskusi di Jakarta, Kamis (21/1/2016).
Harry mengungkapkan, di Indonesia ada sekitar 135.000 kematian per tahun akibat resistensi antibiotik. Survei tahun 2013 di 6 rumah sakit di Indonesia menunjukkan, bakteri Escherichia coli dan Klebsiela pneumonia telah memproduksi enzim Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) sekitar 40-60 persen.
Hal itu menunjukkan bakteri telah resisten terhadap antibiotik. Lantas, bagaimana menyembuhkan pasien yang sudah kebal dengan antibiotik?
Menurut Harry, pengobatan pasien tentu tidak akan dipaksa dengan antibiotik. Namun, pengobatan pasien akan sangat lama di rumah sakit.
"Kemarin kami memulangkan pasien resisten yang dirawat 146 hari. Selama 46 hari saja diberi antibiotik. Selebihnya kita isolasi, kita beri makan yang bagus, sampai kekebalan tubuhnya bagus. Jadi masih ada harapan," terang Harry.
Harry mengatakan, saat ini tengah dilakukan analisis data pola penggunaan antibiotik di rumah sakit. Menurut WHO, 50 persen penyakit yang selama ini diberikan antibiotik ternyata tidak perlu antibiotik.
"Operasi amandel, cesar, tumor jinak payudara tidak perlu antibiotik, sunat juga tidak perlu. Banyak operasi dan penyakit yang tidak perlu antibiotik," ungkap Harry.
Upaya itu dilakukan untuk menekan laju resistensi antibiotik di Indonesia. Sebab, untuk membuat antibiotik baru saja butuh waktu puluhan tahun. Jika resisten antibiotik tidak segera dikendalikan, dapat menjadi pembunuh terbesar di dunia pada tahun 2050.