Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/09/2016, 09:45 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

JAKARTA, KOMPAS — Produsen obat ilegal yang pabriknya digerebek di Kabupaten Tangerang, Banten, menyasar masyarakat bawah, termasuk remaja, sebagai konsumennya. Obat ilegal yang dijual murah itu diduga digunakan sebagai pengganti narkotika karena memiliki efek halusinasi.

Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI Inspektur Jenderal Antam Novambar, dalam jumpa pers di Markas Besar Polri, Jakarta, Selasa (6/9), memastikan, masyarakat bawah jadi sasaran pemasaran obat ilegal dari Tangerang karena obat itu dijual Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per butir.

”Harga itu lebih murah daripada harga narkoba. Dari hasil investigasi kami di sejumlah daerah, obat ilegal ini dikonsumsi warga untuk menghasilkan efek halusinasi, lalu mereka berbuat jahat, seperti perkelahian dan aksi kekerasan,” kata Antam.

Menurut Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapeutik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Arustiyono, maraknya obat ilegal mencerminkan lemahnya pengawasan, ringannya sanksi hukum pada pelaku, dan praktik pengelolaan sediaan farmasi yang tak sesuai standar.

Pengawasan sediaan farmasi terfragmentasi dan dilakukan banyak lembaga. Pengawasan itu tak menyeluruh dari hulu hingga hilir. Padahal, ada puluhan ribu sarana pelayanan kesehatan dan kefarmasian yang harus diawasi.

Arustiyono menambahkan, sebagian besar obat ilegal beredar melalui jalur ilegal dan apotek rakyat. Pemerintah daerah yang memberikan izin kepada apotek dan toko obat juga harus berperan mengawasi.

 Sebagai bagian dari pembenahan, kini BPOM bisa mengawasi sarana layanan kesehatan dan kefarmasian hingga mengaudit sumber pengadaan sediaan farmasi. Namun, sinergi dengan berbagai lembaga diperlukan mengingat sumber daya manusia BPOM terbatas.

Beredar luas

Pada Jumat (2/9), tim gabungan Polri dan BPOM mengungkap lima lokasi pabrik pembuat obat ilegal tanpa izin produksi yang berada di kompleks pergudangan Surya Balaraja, Kabupaten Tangerang. Polri dan BPOM menemukan 42,48 juta butir obat ilegal berbagai jenis berikut alat produksinya senilai Rp 30 miliar.

Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito menyebutkan, obat ilegal yang ditemukan terdiri dari Tramadol 24,9 juta butir, Trihexyphenidyl 2 juta butir, Carnophen 10,38 juta butir, Somadryl 4 juta butir, dan Dextrometorphan 1,18 juta butir.

Jika disalahgunakan, Tramadol dan Trihexyphenidyl memicu ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sementara Carnophen dan Somadryl, yang mengandung carisoprodol dan dexthromethorpan, ialah obat batuk yang menimbulkan efek halusinasi.

Karena itu, BPOM telah melarang obat yang hanya mengandung carisoprodol dan dexthrometorphan sediaan tunggal sejak tahun 2013.

Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Hendri Siswadi memaparkan, produsen obat ilegal di Tangerang tak menyasar segmen pasar yang membutuhkan obat karena sakit tertentu, tetapi konsumen yang ingin menyalahgunakan obat, terutama remaja. Jadi, kandungan dalam obat ialah zat pemicu kecanduan, seperti narkoba.

Selain obat, di lokasi produksi obat ilegal ditemukan sejumlah bahan baku obat, yakni carnophen sebanyak 25 tong, dexamethason 8 tong, parasetamol 40 tong, dan tramadol 3 tong.

Di pabrik itu, tim gabungan Polri-BPOM juga menemukan obat tradisional, seperti Pa’e, African Black Ant, New Anrat, Gemuk Sehat, dan Nangen Zengzhangsu. Beberapa jenis obat itu tak punya izin edar atau mencantumkan nomor izin edar fiktif. Obat-obat itu mengandung bahan kimia obat sildenafil sitrat yang disalahgunakan sebagai penambah stamina pria.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com