Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Orang Jawa Bermata Biru

Kompas.com - 14/09/2016, 08:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Saya sadar banyak tulisan saya bernada kejam, bahkan bisa dikategorikan versi satire artikel kesehatan. Itu bukan tanpa maksud.

Terkadang memang untuk membangunkan orang, alunan musik lembut tidak mempan lagi. Satu orang kepala keluarga tidak bangun, seisi rumah kerap terkena dampaknya. Mulai dari sarapan yang hilang, anak tidak mandi ke sekolah dan orang lain di jalan kena damprat yang katanya biang kemacetan.

Belum lama ini saya diwawancara bagaimana membuat pizza sehat dan memastikan bahan bakunya tidak kedaluwarsa. Alih-alih menjawab, saya balik tanya, ”Emang orang Indonesia harus makan pizza?” Ketika disebutkan makan pizza adalah dampak globalisasi, saya balik tanya lagi, ”Lalu mengapa orang Italia tidak kenal karedok?”

Jujur, saya mencurigai istilah globalisasi atau apalah itu sebagai penghalusan dari ekspansi politik ekonomi pangan, yang begitu mulusnya menggelincir seperti hipnosis terselubung.

Dampaknya? Mengular, beriak seperti batu jatuh di atas air danau yang tadinya tenang. Betul juga. Salah seorang petinggi importir terigu mulai ambil ancang-ancang rekayasa genetika (biar sopan disebut riset pertanian), agar gandum yang aslinya hidup di subtropis mampu berakar gagah di negri tropis.

Sudah lama jantung saya mencelos tiap kali mendengar isu begini, bahkan keringat dingin sudah tak sanggup menetes.


Tubuh manusia bagian dari alam

Saya bukan penentang teknologi dan riset. Justru kebalikannya. Kekaguman tak henti melihat perangkat elektronik dan gawai berlomba loncat pagar mengatasi ruang dan waktu. Tapi, saya tidak kagum sama sekali, bila kehidupan yang beroperasi di hukum kodrat mulai diutak-atik.

Tuhan tidak bodoh menciptakan musim bahkan keragaman pangan sesuai musim dan letak lintang bumi.

Jauh sebelum Hipokrates mencanangkan sumpah dokter yang pertama, tubuh manusia dikenal oleh bangsa Tionghoa sebagai bagian dari alam, mengikuti hukum alam dan berespons dengan keadaan alam. Termasuk apa yang masuk ke dalam tubuhnya.

Jadi bukan suatu kebetulan, buah pun mempunyai musimnya. Dan saat musim itu datang, waktu yang sama tubuh manusia membutuhkannya.

Tapi keserakahan, kerakusan dan naluri kuasa rupanya lebih galak ketimbang arifnya suara hati berkata. Suara hati tidak pernah punya tempat untuk dirisetkan. Padahal, semua yang benar harus berasal dari kebaikan – begitu pula segala yang baik tentu harus benar.

Menuduh negara berkembang kekurangan pangan, salah satu perusahaan raksasa yang menamakan dirinya juru selamat kecukupan pangan dunia, mengepakkan sayapnya dengan bebas. Riset menjadi kata jitu. Produk transgenik pun mulai muncul mengalahkan alam, melintas musim.

Sebut saja di musim rambutan, duren pun turut tersedia. Manis harum seperti ukuran rasa yang diinginkan, berdaging tebal kuning merona. Tanpa cacat. Melampaui kesempurnaan alam ciptaan Tuhan yang justru banyak dicatat cacatnya.


Terlena produk transgenik

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com