Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Dari Rumah Makan ke Rumah Sakit

Kompas.com - 03/10/2016, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Tak ada satu orang pun yang menyangkal bahwa bisnis makanan, masakan, kuliner, apa pun itu namanya diciptakan jelas-jelas untuk menghasilkan uang – jika terlalu kasar dibilang ambil untung. Uang hanya datang jika ada yang beli. Orang hanya mau beli jika sesuai dengan apa yang diharapkannya. Apa yang diharapkan dari makanan? Enak. Sehat? Itu teori.

Jujur saja, jika soal bikin makanan sehat dan rasanya biasa-biasa saja, tentu lebih afdol jika dibuat sendiri. Kita jadi doyan dan ketagihan beli makanan jadi karena kita tidak bisa meniru rasanya.

Jadi, tidak ada katering makanan yang sungguh-sungguh mengikuti kaidah sehat. Minimal pemakaian minyak zaitun untuk menumis. Atau madu sebagai pengganti gula. Bahkan ‘kecap diet’ untuk semur ayam yang dipaksakan.

Sehat versi yang memasak dan produsen bahan masakannya, tentu. Katering kelas tinggi bahkan menyediakan keripik sayur yang tidak digoreng dengan minyak, tapi dipaksakan jadi sayur dehidrasi menggunakan air fryer. Demi ketagihan para konsumen katering yang takut minyak goreng.

Padahal, minyak zaitun dikatakan sehat, karena proses pembuatannya tidak melalui pemanasan. Faktanya, madu sarat gula sederhana bernama fruktosa – yang tidak lebih sehat dari glukosa – karena tak terikat serat seperti fruktosa dalam buah utuh. Sesungguhnya, kecap diet adalah produk pabrik yang tidak lebih sehat dari gula jawa.

Dan Tuhan menciptakan sayur tidak pernah dalam keadaan dehidrasi. Konsep hukum kodrat yang tidak dipahami dan tuntutan ketagihan selera rupanya membuat manusia semakin kalap belakangan ini.

Akhirnya, ada harga yang harus dibayar. Istilah ‘asam lambung naik’ menjadi diagnosa viral di kalangan awam, yang alpa bahwa mengucurnya asam lambung antara lain karena bentuk makanan yang makin hari makin aneh.

Kering tanpa kuah, dehidrasi dan sarat bumbu sintetik. Lambung disiksa mencerna yang mau tak mau akhirnya menghasilkan cairan berlebih untuk pencernaan yang begitu berat. Padahal, dalam urutan makan ‘yang masih benar’, sup adalah makanan pembuka yang dulunya amat disukai anak hingga orang tua.

Gaya hidup yang dipahami sebatas makanan diet, akhirnya menghasilkan wanita-wanita bertubuh ‘langsing’ nyaris kurus tapi masih berisiko penyakit.

Badan kelihatan langsing, tapi organ dalam tubuh berlapis lemak. Termasuk dinding pembuluh darah. Ogah olah raga takut kena matahari membuat wajah tirus mulus bak porselen, tapi minus massa otot dan tulang rapuh.

Jangan salah, rumah makan abad ini belum tentu menyediakan daging berlemak atau tumisan bervetsin. Bisnis baru mulai menjamur bagi kalangan papan atas, yang menganggap rumah makan dengan pernik organik sebagai tren.

Munculnya menu-menu ajaib dengan warna mie semu oranye dan hijau seakan memenuhi keafdolan makan wortel dan bayam – sambil tetap mempertahankan kecanduan akan bakmi.

Gula yang disajikan pun sangat fancy. Berupa kristal indah kekuningan dengan label ‘organic raw sugar’ – berkesan anti obesitas. Padahal, tetap saja gula.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com