Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutan Dirambah, Tanaman Herbal Punah

Kompas.com - 06/11/2008, 17:03 WIB

PALANGKARAYA, KAMIS - Aktivitas perambahan hutan di Kalimantan Tengah yang hingga kini terus terjadi semakin mengancam keberadaan sejumlah tanaman obat tradisional masyarakat dayak.
     
"Keberadaan tanaman tradisional yang kerap dijadikan obat alami bagi masyarakat dayak makin terancam dengan banyaknya perambahan wilayah hutan," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng Mega Hariyanto, di Palangka Raya, Rabu.

Menurut Mega, sejumlah tanaman obat yang kerap digunakan masyarakat untuk pengobatan tradisional seperti bunga kantung semar, buah ulin, dan sarang semut, di beberapa daerah semakin jarang dijumpai.

Padahal tanaman itu selama ini dikenal memiliki khasiat untuk mengobati penyakit, seperti air dalam kantong semar yang masih tertutup, dapat menjadi obat batuk kronis.

Sedangkan buah ulin dapat digunakan untuk menghitamkan rambut, dan sarang semut biasa dimasak oleh masyarakat dayak untuk menyembuhkan penyakit diabetes dan sejumlah penyakit lain.

Perambahan hutan yang mengancam tanaman tradisional itu, kata Mega, disebabkan oleh konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, dan aktifitas penebangan kayu dalam hutan baik legal maupun ilegal.

"Nilai kayu terhadap fungsi hutan berdasarkan sejumlah penelitian tidak lebih dari lima  persen, karena sebagian besar lagi fungsi hutan berasal dari nonkayu seperti lingkungan hidup, oksigen, termasuk juga obat-obatan tradisionnal," jelasnya.

Mega mengemukakan, kehancuran ekosistem hutannya berdampak pula pada hilangnya tanaman-tanaman obat tradisional, sedangkan minat masyarakat untuk budidaya tanaman obat tradisional masih sangat rendah.

BKSDA Kalteng pada tahun 2002 lalu sempat melakukan inventarisasi sejumlah tanaman obat tradisional yang tumbuh di hutan Kalteng.

Selain itu, sejumlah peneliti Universitas Gajah Mada (UGM) dalam tahun ini juga sempat melakukan riset terhadap potensi hutan non kayu yang berkaitan dengan obat-obatan.
     
"Tapi semuanya informasi masih memerlukan penelitian lanjutan dan mendalam untuk mencari solusi bagi kelestariannya," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com