Kemarahan merupakan emosi yang bisa dirasakan siapa pun yang dapat mengarah pada dorongan agresif dan disalurkan melalui berbagai cara.
Bullying yang merupakan tingkah laku agresif—tanpa rangsangan—untuk mendominasi, menyakiti, menyerang, atau mengasingkan orang lain yang lebih lemah dibandingkan diri atau kelompoknya adalah salah satu cara menyalurkan agresi.
Kecenderungan melakukan bullying secara fisik, verbal-emosional, dan sosial mungkin dianggap ”alamiah” dalam pengertian sangat terbatas, tetapi tidak dapat dielakkan di sekolah, rumah, dan lingkungannya.
Hasil penelitian Lembaga Pratista Indonesia menunjukkan, bullying secara verbal-emosional banyak dilakukan oleh guru. Hukuman terhadap pelaku oleh guru sering kali juga berupa bullying.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui hotline service dan pengaduan ke KPAI memperlihatkan, pada tahun 2007 dilaporkan 555 kasus kekerasan terhadap anak, 11,8 persennya dilakukan oleh guru.
”Pada tahun 2008, dari 86 kasus kekerasan yang dilaporkan, 39 persennya dilakukan oleh guru,” ujar Wakil Ketua KPAI Magdalena Sitorus.
Namun, guru SMA 70, Afrizal, menolak pandangan stereotip itu. ”Budaya pendidikan masih penuh kekerasan. Guru yang memberi perhatian pada masalah bullying dengan berbagai cara dijadikan musuh bersama oleh murid pelaku,” ujar Afrizal dalam seminar nasional Learning Without Fear yang diselenggarakan Sejiwa bersama Plan Indonesia beberapa waktu lalu.
Tidak dilahirkan
Korban dan pelaku bullying tidak dilahirkan. Menurut Peter Sheras, seorang anak dipilih menjadi korban tergantung pada seberapa besar ia memahami kekuatannya dalam hubungannya dengan pelaku. Korban sering mengabaikan nasihat terkait dengan bullying karena menganggap nasihat itu tidak mempan.
Kalau menuruti nasihat, tetapi pelecehan terus berlangsung, korban merasa itu terjadi karena salahnya sendiri. Ia tak mau lagi meminta bantuan.