Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melawan Penyakit Seribu Wajah: "Pasrah Membuat Lebih Tenang" (1)

Kompas.com - 24/03/2009, 15:44 WIB

KOMPAS.com — Awalnya, ibu satu anak ini tak tahu penyakit apa yang ia derita. Belakangan, ketahuan bahwa ia terkena lupus, penyakit dengan seribu wajah. Semangatnya yang luar biasa membuatnya mampu bertahan dan bahkan kini aktif membantu pasien lupus dengan bergabung di Yayasan Lupus Indonesia.

Namaku Erlinda Karoyan. Usiaku 45 tahun. Awalnya tahun 2001. Waktu itu, aku sering sekali sakit. Dalam seminggu, paling sehat hanya 2 hari, selebihnya sakit. Sehat yang kumaksud sebetulnya sakit juga.

Bedanya, tidak terlalu mengganggu aktivitasku. Aku masih bisa berjalan, meski dalam kondisi terpincang-pincang, ditambah sesak napas. Buatku, sakit itu kalau sudah tak bisa bangun dari tempat tidur, atau tidur dalam posisi duduk, dan sesak napas berat. Bicara 2 menit, sesaknya 1-2 jam.

Aku tak tahu aku kena penyakit apa, tetapi setiap kali ke dokter, aku hanya diberi antibiotik penghilang nyeri dan alergi. Gejala awalnya sih, sebetulnya sudah ada sejak tahun 1999. Tulang terasa nyeri dan sesak napas. Oh ya, aku lahir, besar, dan tinggal di Jayapura. Orang tuaku asli Manado, tetapi sudah sejak lama tinggal di Papua.

Waktu di Jayapura, aku memang sudah dibilang suspect lupus. Kemudian, oleh dokter di Jayapura, aku disarankan menemui Prof Karnen, seorang ahli imunologi di Jakarta. Aku pun mulai bolak-balik Jayapura-Jakarta, setahun bisa 2 kali. Aku berobat ke Prof Karnen selama hampir 5 tahun. Setiap kali ke Jakarta, aku selalu berbekal obat berbotol-botol.

Oleh Prof Karnen, aku diberi kartikosteroid, meski belum divonis positif lupus. Kartikosteroid adalah obat penghilang rasa sakit bagi penderita penyakit lupus yang salah satu dampaknya adalah moon face (wajah membengkak). Makanya, rata-rata penderita lupus yang sedang dalam pengobatan, biasanya mengalami moon face.

Untuk menentukan seseorang positif lupus, ia harus melewati serangkaian tes laboratorium. Nah, hasil tes ternyata menunjukkan aku masih negatif lupus. Padahal, waktu itu aku sudah punya 10 dari 14 gejala umum lupus. Seseorang bisa divonis positif lupus jika sudah punya minimal 4 gejala-gejala lupus, antara lain sakit pada sendi, panas tinggi bukan karena infeksi, cepat lelah, ruam pada kulit, anemia, gangguan ginjal, bercak merah pada wajah yang menyerupai bentuk kupu-kupu (butterfly rash), dan sebagainya.

Berobat ke Jakarta
Selain berobat di Prof Karnen, aku juga pergi ke spesialis kulit karena kulitku memang bermasalah. Ternyata, belakangan kuketahui aku terkena lupus kulit. Awalnya seperti gangguan kulit biasa. Kulitku supersensitif. Pakai baju tertentu, kulit langsung melepuh. Pakai baju ketat, melepuh. Pokoknya badan serasa dirajam-rajam. Kadang-kadang, sentuhan kecil pun bisa membuat seluruh badan gatal selama berhari-hari. Kalau pakai baju hitam atau baju ketat, tak sampai 5 menit langsung merah, berair, bentol. Biasanya, begitu terpapar matahari, di kulitku langsung muncul seperti benjolan berair. Teman-teman di Jayapura malah bilang aku kena guna-guna, tetapi aku cuek saja.

Oleh dokter kulit, aku divonis kena penyakit kulit fritoderma. Aku tak bisa terkena sinar matahari langsung. Begitu terkena sinar matahari, kulitku langsung melepuh. Gejalanya memang sama dengan penyakit kulit, soalnya lupus sendiri disebut sebagai peniru ulung. Gejalanya mirip penyakit lain.

Akibat kulitku yang sensitif itu, aku punya kebiasaan, setiap kali dirawat di RS, selalu bawa seprai sendiri dari rumah. Kamar rawat selalu kubikin seperti suasana di rumah. Selain supaya aku merasa nyaman, juga karena aku sangat sensitif. Aku merasa nyaman dengan barang-barang yang kubawa sendiri.

Awal tahun 2006, aku sakit selama hampir 8 bulan. Waktu itu aku masih di Jayapura. Rambutku rontok tak kira-kira. Bangun tidur, bisa segenggam yang rontok. Kulitku pun bersisik, luka di mana-mana, pokoknya tak enak banget. Bau pula. Dalam 8 bulan itu, aku tak bisa tidur terlentang. Selalu tidur dalam posisi duduk. Punggungku penuh luka. Berkeringat pun rasanya sangat sakit. Untuk memakai baju, aku terpaksa menangis menahan sakit. Mandi pun begitu.

Seminggu 3 kali aku ke dokter. Ternyata, tanpa dibarengi kortikosteroid, lupus tak akan sembuh. Dokter di Jayapura bingung. Akhirnya, Juni 2006 aku ke Jakarta. Sebelumnya, aku memang bolak-balik Jayapura-Jakarta juga, minimal 2 kali setahun, untuk berobat.

Di Jakarta, aku berobat ke sinse selama sekitar 4 bulan. Bukannya sembuh, penyakitku malah bertambah parah. Aku makin tak bisa bergerak. Sakitnya luar biasa. Nyeri sekali, sampai-sampai tak bisa bicara. Yang keluar hanyalah air mata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com