Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Barito Pacific: "An Aspiring Petrochemical-based Conglomerate"

Kompas.com - 31/03/2009, 07:13 WIB

Para capres atau calon perdana menteri manapun di dunia layak iri pada Deng Xiaoping.

Betapa tidak, meski tidak pernah menyandang jabatan Presiden atau Perdana Menteri, tapi tanpa keputusan yang dibuatnya, China yang seperti kita ketahui hari ini tidak akan terjadi. Di bawah kepemimpinannya, sekalipun tidak menjabat Presiden atau Perdana menteri atau bahkan Sekretaris Jendral Partai Komunis China, China secara resmi mulai melakukan modernisasi di tahun 1978 dan membuka diri kepada investor asing sebagai penjabaran dari apa yang disebutnya sebagai ”socialism with Chinese characteristics”. Keputusannya itu sebetulnya adalah perwujudan dari visinya yang diciptakan ketika ia belum memiliki posisi yang kuat, dan mesti dibayar mahal di masa Revolusi Kebudayaan.

Meski sebelumnya memiliki posisi yang cukup tinggi di jaman berkuasanya Mao Zedong, ia bukan hanya kehilangan kekuasaan tapi dipaksa pergi ke sebuah pabrik di Xinjian oleh rezim Mao di jaman Revolusi Kebudayaan menjadi warga biasa sebagai bentuk penebusan atas ide membuat komunis yang produktif. Dalam sebuah konferensi di Guangzho tahun 1961, ia menyatakan tidak peduli apakah seekor kucing berwarna hitam atau putih, sepanjang bisa menangkap tikus, kucing tersebut adalah kucing yang baik. Respon yang baik atas idenya itu di seluruh negeri dan di kalangan partai membuat Mao, yang khawatir nasibnya terancam oleh Deng, meluncurkan Revolusi Kebudayaan di tahun 1966.

Di masa itu, puteranya menjadi lumpuh setelah dilempar dari lantai empat oleh Red Guards. Setelah menjalani masa pengucilan yang cukup lama, Perdana Menteri Zhou Enlai yang sedang sakit-sakitan berhasil meyakinkan Mao untuk menarik kembali Deng di tahun 1974 dan menjadikannya sebagai Wakil Perdana Menteri yang menjalankan pemerintahan sehari-hari. Meskipun sempat dibuang kembali tak lama setelah meninggalnya Zhou Enlai di awal tahun 1976, Deng pelan tapi pasti akhirnya berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya 2 tahun setelah kematian Mao di tahun 1976.

Keputusan Deng untuk keluar dari pakem dunia komunis, menjadikannya sebagai figur tersukses di abad moderen dalam proses revolusi sosial. China yang tadinya adalah negeri agraris diubahnya menjadi sebuah negara industri dan pelan tapi pasti menjadi superpower dunia. Langkah Deng mengubah wajah partai komunis China bukan hanya menginspirasi partai komunis lain di dunia, tapi juga dunia bisnis.

Ini terutama terkait dengan perusahaan yang mengubah core business-nya baik di tingkat dunia maupun di tingkat nasional. Nokia adalah salah satu contoh perusahaan yang tadinya adalah perusahaan pengolahan kayu yang kemudian masuk ke pembangkit listrik dan akhirnya masuk dan mengubah wajah industri telekomunikasi dunia. Sebagaimana yang terjadi pada China di jaman moderen, apa yang dilakukan Nokia mengundang rasa penasaran banyak perusahaan lain apakah bisa mengikuti jejaknya atau tidak.

Tapi apa yang terjadi pada Nokia tidak muncul tiba-tiba. Awalnya Nokia adalah sebuah perusahaan yang sukses di bidang pengolahan kayu dan kemudian merambah kemana-mana. Dalam proses ekspansi tersebut akhirnya terlihat di bisnis mana ia bisa sukses dan sekaligus jadi andalan masa depan perusahaan.  

Inilah yang tampaknya menjadi pertimbangan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) saat mengubah bisnis intinya dari bisnis perkayuan ke petrokimia. Langkah awal yang dilakukan adalah mengubah nama dari PT Barito Pacific Timber menjadi PT Barito Pacific, untuk semakin meyakinkan orang bahwa bisnis intinya telah berubah. Dan BRPT tidak sekedar mengubah nama tapi langsung tancap gas dengan mengakuisisi perusahaan petrokimia PT Chandra Asri beserta anak perusahaannya PT Styrindo Mono Indonesia dan kemudian PT Tri Polyta Indonesia Tbk, yang kebetulan salah satu key founders-nya juga merupakan founder BRPT.

Kebetulan bisnis perkayuan, yang dulu melambungkan founder BRPT ke jajaran papan atas perusahaan Indonesia, kini sedang menghadapi tantangan yang berat. Di dalam negeri, sebagai dampak penertiban illegal logging, perusahaan-perusahaan yang berbahan baku kayu mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku. Sementara di luar negeri, isu lingkungan juga menghadang perkembangan perusahaan-perusahaan berbahan baku kayu.

Ini tentu semakin merepotkan BRPT yang sebetulnya sudah kehilangan 2 unit usaha utama di bisnis perkayuan dengan luas area pengelolaan hutan yang sangat besar sebagai dampak dari krisis 1997-1998. Sehingga kalau terus bertumpu pada bisnis perkayuan, bukan tidak mungkin eksistensi BRPT di masa depan –yang di masa silam dikenal sebagai sebuah perusahaan raksasa Indonesia– akan terancam. Untunglah, ketika melakukan ekspansi di masa lalu, founder BRPT memutuskan untuk masuk ke industri petrokimia yang produk turunannya banyak merupakan barang yang dibutuhkan sehari-hari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com