JAKARTA, KOMPAS.com -
Pernyataan itu diungkapkan Tjipta dalam sidang uji materi UU Pornografi yang diajukan 47 pemohon, baik lembaga swadaya masyarakat, kesatuan hukum adat dari Sulawesi Utara, maupun perorangan, Kamis (27/8).
Sidang mendengarkan keterangan pemerintah, ahli dari pemerintah, dan ahli dari pemohon.
Selain Tjipta, Mahkamah Konstitusi juga mendengarkan keterangan ahli yang diajukan pemerintah, antara lain Ade Armando (ahli media massa), Roy Suryo (ahli teknologi informasi), Inke Maris (ahli komunikasi), Taufiq Ismail (budayawan), Elly Risman (psikolog), Andre Mayza (neurosainstis), Ida Ruwaida (sosiolog), dan Pery Umar Farouk (surveyer internet). Hadir pula ahli yang diajukan pemohon, Rocky Gerung (ahli filsafat dari Universitas Indonesia).
Sebagian besar ahli mengungkapkan perlunya UU Pornografi untuk membendung pornografi yang marak bersamaan dengan kian pesatnya perkembangan dunia teknologi informasi. Ade Armando mengungkapkan bahwa UU ini merupakan pilihan terbaik untuk masyarakat plural.
Hanya saja, Tjipta mengakui kelemahan dalam pendefinisian kata pornografi. Untuk mencegah adanya bias tafsir dari definisi itu, seperti menganggap porno sebuah tarian atau relief candi, ia mengusulkan pengecualian-pengecualian.
Kuasa hukum pemohon, Anggara Suwahju, mempertanyakan pendapat para ahli tentang dibutuhkannya UU Pornografi. Menurut dia, UU Pornografi sudah tidak diperlukan mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah memuat ketentuan mengenai pelanggaran susila. Hanya saja, ketentuan itu bermasalah di tingkat penerapan/penegakan hukum.
”Kalau yang bermasalah penegakan hukumnya, jangan lantas menyatakan membutuhkan UU Pornografi,” ujarnya.
Rocky Gerung berpendapat, UU Pornografi tidak selayaknya diteruskan. Undang-undang itu jelas-jelas merugikan perempuan dan mengandung anggapan bahwa moralitas hanya dimiliki oleh laki-laki.