Oleh Agnes Aristiarini
Aspek Kebijakan
Demikian pula halnya ketika terkait dengan kanker payudara. Sebagai kasus terbanyak pada perempuan selain kanker mulut rahim, kanker payudara di Indonesia belum tertata laksana dengan baik. Keterlambatan penyakit ini ditangani secara medis membuat kemampuan bertahan hidup mereka yang terkena menjadi sangat rendah. Padahal, dengan angka kejadian yang sama, tingkat bertahan hidup di negara maju bisa sangat tinggi.
Dengan peningkatan kasus kanker yang begitu memprihatinkan—diperkirakan 20 persen per tahun di seluruh dunia—penanganan kanker di Indonesia memang perlu direvitalisasi. Selain program-programnya harus lebih strategis dan komprehensif, tantangan utamanya adalah bagaimana memeratakan pengetahuan dan pelayanan kesehatan hingga ke seluruh wilayah di Tanah Air sehingga banyak pasien kanker yang bisa diselamatkan.
Data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2007 menunjukkan, kejadian kanker payudara mencapai 21,69 persen, lebih tinggi dari kanker leher rahim yang angkanya 17 persen.
Di Rumah Sakit Kanker Dharmais, jumlah kasus baru juga terus meningkat. Kalau tahun 2003 hanya ada 221 kasus, tahun 2008 sudah tiga kali lipatnya menjadi 657 kasus. Sayangnya 60-70 persen pasien datang pada stadium lanjut, III atau IV, sehingga hampir setengah dari angka kejadian kanker payudara berakhir dengan kematian.
Tingkat pemahaman masyarakat yang masih rendah dan adanya mitos-mitos yang keliru tentang kanker payudara menjadi salah satu faktor penyebab keterlambatan penanganan kanker payudara di Indonesia.
Seharusnya banyak pasien kanker payudara bisa diselamatkan. Pada 95 persen perempuan yang diagnosisnya ditegakkan pada tahap awal kanker, sebagai contoh, dapat bertahan hidup lebih dari lima tahun.
Perkembangan ilmu pengetahuan juga sangat signifikan sehingga tidak hanya nyawa pasien yang diselamatkan, tetapi juga kualitas hidupnya. Ini antara lain dengan ditemukannya teknik BCT (Breast Conserving Therapy) sehingga payudara pun bisa dipertahankan jika kanker belum mencapai stadium lanjut.