Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Harapan Baru Perangi Malaria

Kompas.com - 19/01/2010, 14:52 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ilmuwan di University of York, Inggris,  mempublikasikan pemetaan genetik pertama untuk tanaman obat Artemisia annua. Pemetaan gen pada tanaman obat malaria ini akan membantu ilmuwan mengembangkan spesies ini menjadi tanaman berproduksi tinggi serta memerangi penyakit yang disebarkan nyamuk tersebut.

Para peneliti tanaman mengatakan, kode gen Artemisia akan membuat para ilmuwan mampu menyeleksi tanaman muda terbaik secara genetik dan menggunakannya sebagai tanaman induk untuk mengembangkan percobaan tanpa perlu pendekatan modifikasi genetik yang memerlukan banyak waktu.

"Pemetaan itu telah terbukti menjadi sarana penting bagi kami. Dengan pemahaman baru kami tentang genetika  Artemisia, kami dapat memproduksi varietas nonmodifikasi genetik yang lebih baik...jauh lebih cepat dibanding cara lain," kata  Dianna Bowles dari  pusat untuk produk pertanian baru (CNAP) Universitas York, yang hasil karyanya dipublikasikan dalam jurnal Science.

Artemisinin, yang diturunkan dari tanaman Artemisia, adalah obat terbaik bagi malaria, terutama saat digunakan dalam bentuk "artemisinin combination therapy" (ACT) yang dibuat oleh sejumlah perusahaan seperti Novartis AG dan Sanofi-Aventis.

Sekitar 40 persen penduduk dunia berisiko terserang malaria, penyakit yang berpotensi mematikan yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit itu menewaskan lebih dari sejuta orang di seluruh dunia setiap tahun, dan  korban tewas anak-anak di wilayah Afrika dan Asia mencapai 90 persen.

Para ahli mengatakan, sekitar 6.500 hektare lahan -- terutama di China, Vietnam, Afrika dan India -- dikembangkan untuk tanaman tersebut pada  2009, yang menghasilkan  30 metrik ton  artemisinin per tahun -- cukup untuk sekitar 60 juta pengobatan.

Sebagian besar kalangan mengharapkan, kenaikan pendanaan untuk pengobatan malaria untuk mendorong permintaan ACT menjadi sedikitnya 200 juta per tahun dalam dua tahun ke depan. Namun, produksi artemisinin yang rendah di lahan Afika dan Asia menyebabkan bahan itu menjadi mahal dan penurunan areal tanaman telah meningkatkan kekhawatiran akan terjadi kekurangan artemisinin yang ikut menyebabkan lambannya pengobatan ACT di seluruh dunia.

Komersial
Ian Graham, direktur CNAP, mengatakan, para imuwan kini memiliki sarana molekuler untuk mengembangkan tanaman itu dengan cepat menjadi tanaman berproduksi  tinggi yang akan tersedia secara komersial bagi petani skala kecil di negara berkembang.

"Itu menggabungkan pendekatan molekuler modern dengan metode pengembangbiakan tanaman secara tradisional," katanya seperti dikutip Reuters.

"Langkah berikutnya adalah membawa tanaman itu ke negara berkembang, ke Afrika, India dan China serta melakukan uji coba dan memastikan tanaman itu cukup kuat untuk diberikan kepada petani."

Para ilmuwan mengatakan, mereka berharap mendapatkan benih berproduksi  tinggi untuk petani dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Para ahli tanaman yang bekerja di  National Institute of Agricultural Botany di Inggris mengatakan akhir tahun lalu mereka meningkatkan produksi tanaman itu hingga tiga kali lipat dan menarik minat perusahaan obat.  Para ilmuwan China juga berusaha meningkatkan produksi tanaman itu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bulan lalu bahwa peningkatan  pendanaan mulai memberikan hasil dalam upaya memberantas malaria tetapi diperlukan upaya yang lebih keras lagi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com