Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Logika Industri Rokok

Kompas.com - 17/03/2010, 13:49 WIB

Karena itu, problem industri rokok di Indonesia tidak melulu mengenai kesehatan fisik manusia, tetapi jauh lebih kompleks. Rokok juga berhubungan dengan kesehatan sosial, ekonomi, dan kesehatan "kantong" birokrat, politisi, aparat keamanan, juga urusan "kantong" negara.

Industri rokok telah menjadi sumber penghasilan bagi banyak pihak tetapi kelangsungannya semakin terdesak oleh kampanye antitembakau.

Padahal, industri rokok telah menjadi katup pengaman sosial; baik pengaman bagi keselamatan ekonomi masyarakat, pejabat, dan negara.

Di Kudus sendiri, menurut data Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Kudus, tak kurang 110.000 bekerja di industri rokok. Seandainya dari 110.000 orang menanggung beban dua orang maka 330.000 orang bergantung dari industri penghasil asap dan perusak kesehatan ini. Belum sektor-sektor kegiatan ekonomi, pertanian, dan industri penyuplai pabrik rokok. Industri rokok telah menggurita menjadi salah satu pemain besar dalam tata perekonomian di Indonesia.

Saat banyak Badan Usaha Milik Negara yang sakit-sakitan, rugi, dan sudah banyak yang diprivatisasi atau yang mengantre penyembuhan, industri rokok tetap menjadi tumpuan penghasil devisa. Karena hal ini, sektor swasta kemudian menjadi menopang pemerintah. Jika ada maskapai penerbangan nasional "pelat merah" pernah rugi dan bisa bertahan karena suntikan dana APBN, ibarat setiap penumpang, tiketnya disubsidi oleh para perokok. Para penumpang yang gagah dan cantik serta bertampang keren, tetapi tiket pesawatnya dibantu perokok yang adalah para petani, pedagang, nelayan, pekerja sektor informal, bahkan pengangguran.

Mungkin alasan-alasan tersebut yang menyebabkan DPR mengurungkan niat untuk meneruskan bahasan RUU Pengendalian Dampak Rokok dan Tembakau. Pabrik rokok tidak mungkin dapat dimatikan sebab ada sekitar 10.150.000 tenaga kerja dari hulu ke hilir produksi rokok dan terancamnya pendapatan negara dari cukai yang terus naik tiap tahun. Ketagihan

Peringatan kesehatan di bungkus rokok (Tobacco Warning Labels) yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan hanya menjadi hiasan. Sangat sulit berhenti merokok karena sudah nyandu (ketagihan). Perokok maupun pihak yang diuntungkan industri rokok sama-sama sudah ketagihan, betapa rokok begitu ngangeni. Kepulan asapnya maupun jasa sumber penghasil asap bisa meraup dana hingga triliunan rupiah.

Sebelum ada sektor industri atau jasa lain yang dapat menggantikan industri rokok, sangat musykil mematikan kelangsungan industri rokok.

Seperti halnya kota penghasil rokok lainnya, Kudus, sebagai salah satu tempat penghasil rokok, tidak mudah untuk beralih usaha di luar industri rokok. Jika ada fatwa atau regulasi yang kurang dapat memahami atau mengakomodasi problem sosial dan ekonomi industri rokok maka selamanya akan mendapat pertentangan. Padahal, produk fatwa atau regulasi tidak sekadar meramu metode konsep normatif, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek filosofi untuk menunjukkan nilai keadilan dan aspek sosialogis sebagai pertimbangan untuk mendapatkan kemanfaatan dari fatwa maupun regulasi yang terumuskan.

Tanpa memahami sudut logika kehidupan industri rokok, fatwa atau produk regulasi pemerintah (negara) hanya akan menjadi pemicu problem baru di masyarakat. Karena itu, diperlukan kajian mendalam dan komprehensif sebelum fatwa digulirkan atau regulasi diputuskan. Kita tunggu produk hukum (negara atau agama) yang bisa diterima semua pihak.

ZAMHURI Direktur Lembaga Studi Sosial dan Kebudayaan Sumur Tolak, Kudus, Staf Pengajar di Universitas Muria Kudus

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com