Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusui Dini, Awal Berharga

Kompas.com - 18/05/2010, 05:58 WIB

Lodeba (31), warga Jakarta, merasakan betul perbedaan pemberian air susu ibu bagi kedua buah hatinya, Ariela (3,8) dan Dextra (1,1). Pada kelahiran anak pertamanya, Ariela, pengetahuannya mengenai ASI masih terbatas. Sayangnya, tenaga kesehatan pendamping persalinan tidak banyak membantu.

Setelah persalinan, saya dan bayi dipisahkan. ASI juga tidak langsung diberikan. Air susu saya belum keluar waktu itu dan perawat khawatir bayi nanti kelaparan sehingga langsung diberi susu formula sejak hari pertama. Setelah itu baru dibarengkan ASI yang mulai keluar,” ujarnya. Selanjutnya, membiasakan Ariela untuk menyusu butuh perjuangan. ”Baru satu minggu setelah lahir Ariela bisa menyusu,” ujarnya.

Saat kelahiran anak kedua, Dextra, Lodeba mencari lebih banyak informasi tentang ASI. Dia mulai mengenal inisiasi menyusu dini (IMD) yang mulai ramai diperkenalkan. Persalinan keduanya sungguh berbeda, meskipun di rumah sakit bersalin yang sama. Kali ini, sesaat setelah melahirkan (tali pusar belum dipotong), perawat meletakkan bayi di dadanya. ”Dextra merayap sendiri mencapai payudara saya. Dalam waktu lima menit, dia sudah menemukan dan menyusu. Belum ada ASI yang keluar,” ujarnya.

Putri keduanya, Dextra, mendapatkan ASI eksklusif. ”Dextra langsung fasih menyusu. Putri saya yang kedua tubuhnya kuat dan jarang sakit. Biasanya, kakaknya sakit duluan baru menularkan ke anggota keluarga lainnya,” ujar Deba. Ia berharap para tenaga kesehatan lebih banyak lagi yang tahu soal pemberian ASI.

Inisiasi menyusu dini

Pemberian ASI eksklusif idealnya diawali IMD. Setelah itu dilanjutkan ASI eksklusif selama enam bulan. Jika memungkinkan, dilanjutkan hingga bayi berusia dua tahun. Penelitian Karen M Edmond di Ghana terhadap 10.947 bayi membuktikan, IMD menurunkan angka kematian neonatus (bayi yang baru lahir) hingga 22 persen. Penelitian itu dipublikasikan di jurnal Pediatric tahun 2006.

Dalam seminar ”Advance Issues on Breastfeeding”, pekan lalu, Ketua Umum Sentra Laktasi Indonesia—sekaligus dokter spesialis anak—Utami Roesli mengatakan, IMD masih relatif baru diperkenalkan di Indonesia. Berbeda dengan ASI eksklusif yang mulai disosialisasikan sejak tahun 1980-an walaupun belum banyak dipraktikkan.

Setelah lahir, bayi secepatnya dikeringkan tanpa menghilangkan kulit putihnya. Setelah tali pusat dipotong, bayi ditengkurapkan di dada ibu dengan kulit bayi melekat pada kulit ibu dan dibiarkan mencari puting susu ibunya. Kulit bayi dibiarkan tetap bersentuhan dengan kulit ibu selama satu jam agar menyusu sendiri. Selesai menyusu awal, bayi baru dipisahkan, biasanya untuk penimbangan.

Begitu banyak manfaat yang dapat diperoleh dari IMD, antara lain menjaga suhu tubuh bayi tetap hangat, bayi mendapat kolostrum yang penting bagi kekebalan tubuh. Kolostrum merupakan cairan yang pertama kali dikeluarkan kelenjar payudara. Cairan itu mengandung sel darah putih dan antibodi khususnya imunoglobulin (IgA) yang membantu melapisi usus bayi yang masih rentan.

IMD juga merangsang produksi ASI, melatih bayi menyusu, mempererat kasih sayang ibu dan bayi, dan meningkatkan kelangsungan hidup sang bayi.

Kontak kulit bayi ke kulit ibu bermanfaat lantaran ibu dan bayi lebih tenang, pernapasan dan detak jantung lebih stabil. Bayi pun menjadi tidak rewel. Selain itu, bayi memperoleh bakteri tak berbahaya dari ibu, menjadikannya lebih kebal dari bakteri lain di lingkungan.

Bagi ibu, menyusui akan membantu pengeluaran plasenta dan mengurangi perdarahan. Dengan menyusui, kesuburan ibu akan menurun sehingga terhindar dari kehamilan dalam interval waktu singkat.

Salah paham

Dokter spesialis anak dari Perhimpunan Peritanologi Indonesia, Asti Praborini, menyayangkan adanya kekurangpahaman, termasuk di kalangan tenaga kesehatan yang menghambat pemberian ASI secara umum. Menurut Asti, ASI belum langsung keluar sesaat setelah persalinan sehingga petugas kesehatan segera memberikan susu formula. ”Padahal, sebetulnya tidak perlu demikian,” ujar Asti.

Dia menjelaskan, saat berada di dalam kandungan, bayi mendapat asupan melalui plasenta sehingga dapat dikatakan lambung berpuasa selama bayi di kandungan. ”Begitu lahir, kapasitas lambung bayi hanya sebesar kelereng. Bayi belum membutuhkan banyak ASI dan umumnya produksi air susu ibu baru melahirkan masih sedikit. Setelah sepuluh hari, kapasitas lambung mulai bertambah menjadi sebesar bola pingpong,” ujarnya.

Terkadang dibutuhkan beberapa hari baru produksi ASI lancar dan memadai jumlahnya. ”Jika ibu terus menyusui sekalipun air susu belum keluar, itu ikut merangsang produksi air susu,” katanya.

Kekhawatiran lain yang menghambat proses menyusui ialah kekhawatiran berat badan bayi turun. Turunnya berat bayi selama 6-7 hari setelah dilahirkan merupakan hal normal. Pada hari kesepuluh baru berat badan bayi mulai naik.

Cara dan posisi menyusui yang salah kerap kali membuat bayi tidak nyaman sehingga menangis dan ibu menjadi stres sehingga air susu terhambat. Kebanyakan bayi menyusui di puting ibunya sehingga bayi hanya mengisap sedikit air susu dan puting menjadi lecet. ”Saat menyusui sedapat mungkin seluruh areola (lingkar cokelat) masuk ke mulut bayi sehingga produksi ASI lebih banyak dan puting tidak sakit,” ujarnya.

Asti berpandangan, sedapat mungkin ibu harus berjuang memberikan ASI bagi bayinya. ASI tidak hanya mengandung komponen makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak, tetapi juga mikronutrien, vitamin, dan mineral. Kekentalan ASI pun sesuai saluran cerna bayi. ASI menyediakan semua yang dibutuhkan bayi pada masa-masa awal kehidupannya.

Indira Permanasari

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com