Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menonton Televisi yang Sehat

Kompas.com - 05/08/2010, 12:17 WIB

Oleh Encep Dulwahab

Kunci hidup sehat ternyata tidak hanya olahraga, istirahat, dan makan teratur, tetapi juga mengurangi waktu menonton televisi. Kenapa menonton televisi masuk pada gaya hidup yang membuat seseorang dekat dengan penyakit? Bukankah menonton televisi itu cukup rileks, tidak ada aktivitas fisik atau pikiran di dalamnya? Menonton televisi berlebihan dinilai dapat memengaruhi kesehatan. Sayang, hal ini tidak diketahui banyak orang. Padahal, orang senantiasa menghabiskan waktunya berjam-jam, bahkan ada yang seharian, duduk manis di depan layar kecil.

Sepintas kita akan susah membedakan efek yang dirasakan orang yang senantiasa menghabiskan waktunya menonton televisi dan yang tidak bercengkerama dengan tontonan audiovisual. Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu, kita dapat membedakan orang yang banyak menonton televisi dan tidak. Secara fisik dan mental ada perbedaan signifikan di antara keduanya. Perilaku dan sikap orang yang tidak terkontaminasi tontonan televisi lebih murni. Artinya, mereka berbuat sesuatu tanpa digerakkan hal-hal di luar dirinya. Sementara orang yang banyak menonton televisi akan lebih agresif, banyak meniru. Karakter diri itu sejatinya sudah lebur dengan informasi baru yang didapatkan via tayangan televisi.

Kondisi ini dikhawatirkan menimpa anak-anak yang menjadikan televisi sebagai teman bermain karena orangtua mereka sibuk mengejar mimpi. Bahkan sebagian orangtua merasa terbantu dengan tayangan anak-anak di televisi yang membuat sang anak bisa bermain sendirian. Secara perlahan budaya seperti ini akan membuat anak senang dengan dunianya sendiri. Efek yang lebih parah, dia akan susah menerima teman baru yang mengharuskannya bersosialisasi dan berinteraksi dengan dunia riil.

Menurut Jack Rubinstein, peneliti Physorg, ada beberapa efek negatif lain dari menonton televisi, di antaranya dapat membuat penonton mengalami obesitas, hipertensi, dan diabetes. Studi menunjukkan bahwa duduk dan bersantai dalam kurun waktu lama akan berdampak pada tekanan darah.

Pantas saja orang yang banyak menonton televisi adalah mereka yang terancam obesitas dan tekanan darah. Pasalnya, orang yang menonton itu pasif, diam menyaksikan sajian televisi. Mulai anak-anak sampai yang tua pun akan duduk santai menikmati tayangan demi tayangan yang menjadi menu favoritnya.

Teman setia

Setelah menghabiskan waktu sekitar delapan jam atau lebih untuk bekerja, beraktivitas, atau belajar, pada dasarnya manusia membutuhkan waktu rehat untuk menyegarkan konsentrasi dan fisik. Kebanyakan melampiaskan atau mencari penyegaran pada televisi. Rata-rata enam jam sehari orang menonton televisi.

Ini tidak disalahkan, tetapi alangkah baiknya orang banyak berolahraga seusai bekerja, terlebih aktivitas kerjanya banyak duduk. Boleh saja menyempatkan menonton, tetapi kitalah raja atas tayangan yang kita tonton. Kitalah yang menentukan menu-menu yang cocok untuk diri dan keluarga. Ketika sudah duduk menonton televisi, kebanyakan dari kita terbius olehnya. Bahkan ada yang tidak bisa menolak bujuk rayu tayangan sehingga membuat kita terpesona untuk menontonnya terus.

Dengan beragam menu tayangan, televisi bisa menyulap pemirsanya kapan pun, saat sedang melakukan apa pun. Sekali saja menonton, dia akan terhipnotis untuk tidak beralih dari tempat duduknya. Ada daya tarik dalam tayangan yang melibatkan gerak dan suara sebagai kelebihannya ketimbang media lain. Maka, dia akan kuat duduk menghabiskan waktu dalam menunggu tampilan selanjutnya. Tren imitasi

Ketika televisi belum datang, masyarakat senantiasa mencari dan menciptakan jenis permainan dan hiburan untuk mengisi waktu senggangnya. Kondisi itu berubah total ketika televisi datang menghampiri ruang-ruang keluarga. Aktivitas manusia tergantikan. Tidak tanggung-tanggung, televisi merampasnya. Maka, manusia pun kebingungan. Setelah melihat suguhan televisi begitu menggiurkan, akhirnya manusia terbius dan terobsesi ingin meniru apa yang dipertontonkan televisi. Lahirlah budaya tiru-meniru atau imitasi yang sekarang sudah menggurita di mana-mana.

Jelas ini penyakit yang susah dicari penawarnya. Dari imitasi ini akan bermunculan penyakit lain. Ujung-ujungnya adalah nafsu konsumerisme, kekerasan, agresivitas yang tidak pada tempatnya, kriminalisasi, nafsu syahwat yang meningkat, dan budaya instan yang terus menguat. Kalau sudah tercipta penyakit seperti ini, tidak akan ada budaya kreatif mencipta yang bisa menghasilkan produk, tetapi segala sesuatu ingin serba instan dan mudah didapatkan.

Kalau saja tidak ada inovasi dan kreativitas tayangan televisi dalam menampilkan suguhan, penonton tidak akan terstimulasi. Daya imajinasi dan kreasinya tidak akan muncul. Maka, bisa dipastikan kita akan terkena dampak epigon, pengekor, dan mengikuti siapa saja yang lahir atau muncul lebih dulu. Fenomena ini sudah sangat kentara di belantara budaya, kebiasaan, dan interaksi di masyarakat Jawa Barat.

Televisi adalah teropong yang bisa melihat masa lalu dan memprediksi masa depan. Televisi juga menjadi media penampil second reality. Artinya, televisilah sang sutradara kehidupan manusia yang harus berbuat seperti apa. Kebebasan dan tidak adanya usaha menutupi kebebasan dalam penyiaran sudah harus dibarengi dengan budaya menonton tayangan yang menyehatkan, baik secara fisik maupun psikis. Sangat disayangkan kalau kehadiran televisi tidak memberikan kontribusi positif atas dinamika manusia. Televisi harus menyertai dan menjadi sumber inspirasi dalam aktivitas manusia yang membutuhkan akselerasi dan inovasi tiada henti.

Pengaturan jadwal menonton televisi merupakan keharusan. Sebab, televisi merupakan media yang unggul segala-galanya. Tidak hanya visual dan audio, kecepatan penyajiannya bisa memanjakan pemirsa. Ini berbeda dengan media cetak atau online yang mengharuskan kita membaca atau memahami pesan tekstualnya.

Televisi dari pagi sampai pagi lagi menampilkan sajian-sajian yang sudah terseleksi dan memiliki agenda matang. Hal itu akan membuat semua sajian menarik. Diperlukan kesadaran dan ketajaman dalam memilih mata acara. Terlebih, pemirsa harus tahu tayangan yang sehat dan kebutuhan utama dalam memilih jam tayang.

ENCEP DULWAHAB Dosen Ilmu Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pengelola De Rumah Komunikasi

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com