Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Kisahku Melawan Jeratan Kanker Payudara, Bagian 1

Kompas.com - 27/10/2010, 17:02 WIB

KOMPAS.com - Kanker payudara (KP) merupakan salah satu pembunuh perempuan terkejam. Ia datang diam-diam, menggerogoti tubuh, menyakiti, kemudian membunuh. Bukan hal yang mudah untuk menghadapi kanker. Inilah cerita Enny Hardjanto, seorang pengusaha, dosen, dan survivor KP yang sempat divonis berada di stadium 4.

Saya terdeteksi KP sekitar tahun 2005, begitu tahu kabar ini, saya tidak mau ke dokter. Itu kesalahan saya. Saya merasa takut. Benar-benar takut. Saya sudah banyak mendengar cerita mengenai proses penyembuhan kanker yang menimbulkan banyak masalah, mulai dari kemoterapi atau biopsi, mereka bilang, nanti kankernya akan makin menyebar. Semua mitos itu memengaruhi saya. Sehingga pada tahun 2005 itu, saya ndak berani ke dokter. Padahal, dari dokter yang memberitahu (dokter umum), semua gejala sudah mengindikasikan apa yang saya idap itu adalah KP.

Masih diselimuti rasa takut untuk menempuh jalur medis, saya pun pergi ke pengobatan-pengobatan alternatif. Semua saya datangi. Mulai dari ujung Sumatera Utara sampai ke Irian, semua saya coba. Di Jakarta lebih banyak lagi saya datangi. Ada yang lewat kambing, dibuanglah, inilah, itulah. Uang yang keluar pun jutaan, bukan satu-dua juta, tetapi puluhan juta, hanya untuk alternatif. Bayangkan saja, biaya untuk tiket penerbangan, penginapan, dan ini-itunya, kan tidak sedikit. Setelah 6-7 bulan berusaha pengobatan alternatif, bukannya berkurang, malah makin menyebar. Kanker payudaranya sudah mulai terasa sakit, karena kankernya ternyata sudah merasuk ke dalam. Bentuk payudara saya pun sudah mulai tak keruan.

Tak lama, teman saya mengajak terapi China. Saya ikutin selama 2 bulan. Dokternya bilang, saya harus pergi ke China. Saya tidak berani, karena saya tidak bisa bahasa China, kalau ada apa-apa saya tidak mengerti, lalu saya berhenti. Teman saya sudah dikemoterapi oleh dokter itu, sudah kelar. Lalu teman saya itu bilang, "Udah, kita ke medis saja, ya." Saya pun menyerah, saya pergi ke ahli medis di Jakarta. Dokter itu bilang, "Waduh, kamu ini sudah stadium lanjut. Enggak ada yang berani operasi. Harus dikemoterapi dulu." Saya pun hitung-hitung. Ternyata biayanya mahal luar biasa. Karena kemoterapi yang harus saya jalani tipe yang sangat kuat. Saya menyerah, saya saat itu sudah pensiun, tetapi kadang masih mengajar. Lalu, teman-teman saya yang juga terjerat KP pun berkumpul. Kita pun sharing banyak sekali.

Tiba-tiba ada yang mengajak pengobatan ke Malaka. Menurutnya, lebih murah dibanding biaya perawatan di Jakarta. Saya pikir, kan keluar negeri, pastilah lebih mahal karena penerbangan, penginapan, dan lainnya. Eh, ternyata enggak, karena ada penerbangan promo ke Malaysia yang murah. Saya bersama suami, pergi ke sana bersama dua teman.

Di sana, kami ketemu dengan salah seorang dokter yang sama. Dokter di sana bilang kepada salah satu teman saya yang sudah dikemoterapi di Indonesia, "Mengapa kamu dikemoterapi? Kamu tidak menderita kanker. Kamu cuma punya tumor." Padahal bentuknya besar sekali, sebesar bola voli. Menurut dokternya, kalau dioperasi saja, sudah bisa kelar. Teman saya yang satu lagi, diperiksa, ternyata baru stadium 2, tinggal dioperasi dan kemoterapi, selesai. Lalu, begitu sampai di saya, dokternya hanya bisa diam.

Pasti Ada Jalan

Tiba-tiba, si dokter bilang, "Ini yang membuat saya semangat. Kita satu tim. Kamu, saya, dan Tuhan. Saya tidak bisa menyembuhkan kamu. Saya bisa berusaha, tetapi kamu pun harus berusaha untuk mau sembuh. Kalau enggak, tak bisa. Kamu bisa?" Yang menjawab malah suami saya, "Ya, kita harus bisa! Harus, harus, harus." Lalu saya tanya berapa biayanya, suami saya bilang lagi, "Nanti kita cari. Pasti ada jalan."

Soalnya ini satu-satunya dokter yang bisa bilang, bahwa kita ini satu tim dan dia mau berusaha. Teman-teman saya pun dioperasi dan kemoterapi. Begitu giliran saya, dokter bilang, "Kamu nanti jangan kaget, ya. Kamu akan dikemoterapi besok sekitar jam 9 pagi. Kemoterapinya enggak sakit, masuk dari sini, nanti keluar di sini. Tidur saja, tenang-tenang. Tetapi, nanti akibat kemoterapinya akan terasa tidak nyaman. Sore, sekitar jam 4, setelah dikemoterapi, saat akan buang air kecil, akan ada warna kemerahan. Itu artinya kemoterapi sedang bekerja. Di situ, kamu tidak bisa kontrol badan kamu. Kadang terasa panas, kadang menggigil. Kamu tidak bisa menguasai diri. Sudah, kamu terima saja, biarkan saja. Semangati terus karena ini proses. Ini proses yang cukup lama. Ini hari pertama. Hari kedua akan terasa badan tidak enak. Lalu di hari ketiga, kamu akan merasa mual dan muntah. Mungkin juga buang air besar. Ini adalah gejala-gejalanya. Nanti, setelah 2-3 minggu, kuku kamu akan menghitam. Kamu bisa, kan?" Suami saya yang jawab, "Bisa, Dok!"

Saya minta sama dokternya supaya saya menjalani ini semua di rumah saja. Dokter bilang, setelah kemoterapi, saya harus langsung pulang. Sekitar jam 9 pagi saya dikemoterapi, lalu jam 11 saya sudah dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Sekitar jam 4 sore, badan saya mulai tidak enak. Saat buang air kecil, benar saja, airnya merah sekali. Lalu tak lama kemudian, temperatur tubuh saya berubah tidak keruan. Di malam hari, saya tidak bisa tidur. Itu hal yang saya paling tidak tahan dari seluruh proses ini. Saya sebenarnya orang yang mudah sekali tidur. Kadang, saya bisa tidur sambil berdiri, kok. Ini, saya tidak bisa tidur sama sekali. Ini bikin saya frustasi. Saya gelisah terus-terusan karena badan tidak enak. Saya sampai minta tolong sama Tuhan untuk membiarkan saya tidur barang 5 menit saja. Akhirnya bisa, tapi cuma sebentar, bangun lagi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com