Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stres Hambat Pengobatan Kanker

Kompas.com - 04/02/2011, 11:09 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Rasa takut, panik dan malu pada seseorang yang divonis mengidap kanker harus segera diatasi. Pasalnya, bentuk-bentuk stres seperti ini dapat menghambat pengobatan medis terhadap sel kanker.

Hal ini disampaikan oleh pakar bedah onkologi dari Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta dr. Samuel J Haryono, SpB (K) Onk. kepada Kompas.com, di sela gathering penderita dan mantan penderita kanker yang tergabung dalam Cancer Information & Supprot Centre (CISC) di Jalan Imam Bonjol Jakarta beberapa waktu lalu.

“Stres itu bisa karena ketidaktahuan, bisa karena frustasi, bisa karena penolakan, bisa karena depresi. Itu dampaknya bisa ke penerimaan pengobatan. Itu bisa sampai tahunan lho,” ungkapnya.

Dr. Samuel bertutur, beberapa tahun lalu, dirinya pernah memiliki seorang pasien yang mengidap kanker payudara. Karena rasa frustasi, takut dan malu yang berlebihan, si pasien tak mau disentuh oleh siapapun. Bahkan, suaminya sendiri tidak diijinkannya untuk melihat.

Akibatnya, proses pengobatannya tertunda hingga tiga tahun! Menurut dr. Samuel, kondisi ini tentu akan merugikan si pasien karena sel kanker akan bertambah ganas.

Menurutnya pula, bentuk stres bisa beraneka ragam. Bisa karena ketidaktahuan, bisa karena malu, frustasi atau takut. Bisa pula karena tak mampu menerima kenyataan.

Di kota besar, stres banyak dipicu karena penolakan atau ketidakmampuan menerima vonis dari dokter. Sementara di daerah, penderita stres karena minimnya informasi tentang pengobatan dan penyembuhan kanker.

Stres pernah dialami oleh Ridwan (40). Saat divonis mengidap kanker nasofaring (daerah rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut) enam tahun lalu, dia mengaku kabur dari rumah selama tiga hari tiga malam, meninggalkan istrinya yang baru saja dinikahinya selama enam bulan.

“Saya enggak terima. Saya malu dan takut. Katanya waktu itu sudah stadium empat dan saya kan suka baca, saya tahu itu sudah pasti mati,” katanya.

Namun, lanjutnya, karena sang istri mampu meyakinkannya dengan cinta, harapan dan keyakinan waktu itu, pengajar Bahasa Korea ini akhirnya memilih berbesar hati menghadapi semua rangkaian pengobatan dan penyembuhan.

Dr. Samuel mengatakan stres harus diatasi segera. salah satunya dengan dukungan orang-orang terdekat dan bergabung dalam komunitas sesama penderita. Dengan bergabung dalam komunitas, menurutnya, penderita memperoleh manfaat secara psikologis yang mendukung jalannya penyembuhan. Penderita dapat lebih terbuka menerima keadaan karena melihat banyak orang yang juga mengalami penyakit yang sama.

“Kalau sebelumnya (pasien) enggak mau di-kemo, jadinya mau di-kemo. Orang yang tadinya enggak mau periksa, bisa dideteksi lebih dini. Dan itu adalah merupakan suatu media komunikasi dan informasi. Jadi pasien itu punya pengetahuan, itu kan penting untuk mawas diri. Bagi yang belum pernah kena, atau yang sudah kena dia bisa merasa dukungan untuknya itu banyak. Maka support ya punya peranan besar. Di negara maju itu sangat dianjurkan, dibentuk. Itu tidak bertentangan dengan dunia kedokteran,” paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com