Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Tes Alergi Tak Direkomendasikan

Kompas.com - 28/02/2011, 12:05 WIB

KOMPAS.com - Seorang ibu sudah demikian frustasinya menangani masalah alergi yang diderita anaknya. Sudah banyak dokter ahli dikunjungi, sudah banyak obat yang diminum, tetapi keluhan masih hilang timbul. Orangtua makin bingung ketika saat ini banyak sekali tes alergi ditawarkan. Beberapa tes alergi yang dilakukan juga tak memberi hasil bahkan tes yang mahalpun telah dilakukan di kirim ke Amerika.

Ternyata banyak tes alergi canggih dan baru saat ini yang tidak direkomendasikan oleh institusi Alergi Internasional karena tak terbukti secara ilmiah. Meski tak terbukti ilmiah, masih banyak dokter dan klinisi yang menggunakannya.

Alergi makanan dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Berbagai penelitian menunjukkan, alergi menimbulkan komplikasi yang sangat mengganggu, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh termasuk gangguan fungsi otak.

Akibat gangguan fungsi otak itulah, maka dapat timbul gangguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan tidur, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala Autis dan ADHD. Permasalahan menjadi bertambah rumit ketika mencari penyebab alergi sangat sulit.

Saat berbagai alergi sulit sembuh, akhirnya orang tua disarankan melakukan pemeriksaan darah IgG4 dengan sekitar 100 panel makanan yang harus dikirim ke Amerika. Banyak lagi orang untuk melakukan tes dengan bioresonansi, tes bandul, tes DNA rambut dan berbagai tes alergi lainnya.

Sulitnya mencari penyebab alergi inilah yang menjadi sumber utama terjadinya kontroversi atau perbedaan pendapat di antara masyarakat awam dan sebagian besar dokter atau klinisi itu sendiri khususnya dalam diagnosis dan terapinya.

Dalam waktu terakhir ini, sering dipakai alat diagnosis yang masih sangat kontroversial atau ”unproven diagnosis”. Terdapat berbagai pemeriksaan dan tes untuk mengetahui penyebab alergi dengan akurasi yang sangat bervariasi. Secara ilmiah, pemeriksaan ini masih tidak terbukti baik sebagai alat diagnosis.

Pada umumnya, pemeriksaan tersebut mempunyai spesivitas dan sensitivitas yang sangat rendah. Terapi alternatif tersebut saat ini banyak dilakukan di Jakarta dan kota besar lainnya adalah terapi bioresonansi, tes analisa DNA rambut, Tes IgG4 dan sebagainya.

Meskipun tehnologi dan pengetahuan tentang penyakit alergi telah berkembang pesat, namun banyak kasus di masyarakat dijumpai penatalaksanaan masyarakat dilakukan dengan terapi “unproven”. Di Austalia misalnya, sekitar 50-70 % penderita alergi berobat pada diagnosis dan terapi alternatif atau dengan “tes unproven”. Diagnosis dan terapi alternatif atau yang tidak terbukti secara ilmiah ini sering disebut “diagnosis dan terapi “unproven”

Beberapa pemeriksaan diagnosis yang kontroversial dan tidak direkomendasikan tersebut adalah IgG4 (biasanya diperiksa dan dikirim ke Amerika), Applied Kinesiology, VEGA Testing, Electrodermal Test atau Bioresonansi, Hair Analysis Testing in Allergy, Auriculo-cardiac reflex, Provocation-Neutralisation Tests, Nampudripad’s Allergy Elimination Technique (NAET) dan tes analisa DNA rambut.

Sampai saat ini, organisasi alergi Internasional seperti ASCIA (The Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy) , WAO (World allergy Organization) American Academy of Allergy Asthma and Immunology) atau AAAI (American Academy of Allergy Asthma and Immunology) tidak merekomendasikan penggunaan alat diagnosis alternatif ini.

Beberapa organisasi profesi alergi dunia seperti tidak merekomendasikan penggunaan alat tersebut karena tidak terbukti secara ilmiah. Yang menjadi perhatian, oraganisasi profesi tersebut bukan hanya karena masalah mahalnya harga alat diagnostik tersebut, tetapi ternyata juga sering menyesatkan penderita alergi yang justru sering memperberat permasalahan alergi yang ada.

Pertanyaan bagi praktisi klinis

Meskipun terapi dan diagnosis alergi “unproven” tak terbukti secara klinis dan ilmiah, tetapi kenyataannya sehari-hari masih sering digunakan oleh para dokter dan klinisi lainnya. Karena tidak terbukti secara ilmiah dan tidak direlomendasikan, maka penggunanya tidak ada dari kelompok praktisi yang kompeten di bidang alergi imunologi.

Di Indonesia, saat ini praktisi klinis atau dokter yang menggunakannya sampai saat ini bukanlah dokter ahli alergi imunologi melainkan dokter umum, pakar Autis, dokter penyakit dalam, dokter THT dan dokter ahli lain. Bahkan, saat ini terdapat kecenderungan menjadi prosedur baku untuk penanganan penderita autisme dengan mengirimkan sampel darah yang harus dikirim ke Amerika.

Mengingat investasi alat tersebut tidak sedikit, maka promosi jasa layanan medis tersebut bukan hanya dari mulut ke mulut, tetapi sudah langsung disampaikan lewat media masa elektronik atau cetak. Bila hal ini terjadi, maka pemahaman tentang penanganan alergi akan jadi lebih menyesatkan baik bagi para klinisi maupun masyarakat awam.

Bagi klinisi atau yang berkecimpung di bidang terapi alternatif mungkin melakukan berdasarkan pengalaman klinis segelintir kasus dan sebagian dokter yang pernah berhasil. Tetapi mereka tidak melihat bahwa yang tidak berhasil juga sangat banyak. Sehingga secara ilmiah hal ini harus dilihat dalam kejadian ilmiah berbasis bukti berupa penelitian atau uji klinis.

Hingga saat ini penelitian ilmiah tidak ada yang pernah membuktikan bahwa diagnosis dan terapi alternatif tersebut tidak terbukti. Hal ini terjadi karena metodologi alat ukur tersebut tidak berkaitan dengan kaidah ilmiah baik secara biomolekular ataupun secara biofisika. Bila para klinisi atau para dokter saling berkontroversi, maka masyarakat awam sebagai penerima jasa berada dalam posisi yang membingungkan. Sedangkan secara legal di Indonesia saat ini belum ada regulasi yang mengatur hal ini.

Akibatnya, banyak pertanyaan dan tuntutan dari beberapa pihak kepada para praktisi pengguna terapi alternatif dan diagnosis "unproven" tersebut. Bagaimana secara ilmiah dan rasional alat diagnosis tersebut bekerja ?

Secara ilmiah, pemeriksaan tersebut sensitivitas dan spesivitasnya masih belum terbiukti secara ilmiah. Kalaupun ada penelitiannya masih sebatas laporan serial kasus. Hal ini dapat dilihat tidak ada dalam jurnal kedokteran internasional yang kredibel seperti pubmed yang melaporkan manfaat berbagai alat diagnosis tersebut.

Tes yang direkomendasikan

Pemeriksaan untuk mencari penyebab alergi makanan sangatlah beragam. Baik dengan cara yang ilmiah hingga cara alternatif, mulai yang dari yang sederhana hingga yang canggih.

Untuk mencari penyebab alergi harus semata berdasarkan diagnosis klinis bukan dengan pemeriksaan atau tes alergi.  Diagnosis klinis adalah yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak kecil dan dengan  eliminasi dan provokasi.

Standar baku untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan provokasi makanan secara buta (Double blind placebo control food chalenge/DBPCFC). DBPCFC ini adalah gold standard atau standar baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan.  Mengingat cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit, beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap metode pemeriksaan tersebut.

Masih banyak perbedaan dan kontroversi dalam penanganan alergi makanan sesuai dengan pengalaman klinis tiap ahli atau peneliti. Sehingga, banyak tercipta pola dan variasi pendekatan diet yang dilakukan oleh para ahli dalam mencari dan menangani alergi makanan.

Banyak kasus pengendalian alergi makanan tidak berhasil optimal, karena penderita menghindari beberapa penyebab alergi makanan hanya berdasarkan pemeriksaan yang bukan merupakan standar baku emas.

Tes Kulit

Pemeriksaan alergi lain yang direkomendasikan adalah tes kulit alergi, karena telah terbukti secara ilmiah sensitivitasnya. Terdapat beberapa jenis uji kulit untuk mengetahui penyebab alergi, di antaranya adalah : uji tusuk, uji gores dan uji tempel. Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah pemeriksaan uji tusuk. Banyak disukai oleh penderita adalah uji tempel, karena tidak terlalu menyakitkan dan praktis. Hasil uji kulit bukanlah hasil akhir atau penentu diagnosis.

Sering informasi yang diterima penderita menyesatkan, bahwa dianggap dengan tes alergi dapat diketahui pasti penyebab alergi. Tes kulit alergi sangat terbatas sebagai alat diagnosis. Bila hasil tes kulit alergi positif, mungkin alergi terhadap makan bahan makanan tersebut, sebaliknya bila hasilnya negatif belum tentu bukan alergi makanan.

Beberapa pemeriksaan laboratorium melalui pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk mencari penyebab alergi. Pemeriksaan konvesional lainnya adalah pemeriksaan darah dengan cara RAST (Radio-allergo-sorbent test). Pemeriksaan ini adalah untuk melihat antibodi terhadap makanan tertentu, debu, serbuk bunga, bulu kucing dan lainnya.

Namun pemeriksaan ini cukup rumit dan mahal. Satu jenis alergen misalnya debu harganya mencapai sekitar Rp 350 hingga 450 ribu. Bisa dibayangkan bila jenis makanan yang demikian banyak diperiksa semuanya. Seperti halnya tes kulit, tes darah ini memang sensitivitasnya baik dan terbukti secara ilmiah, namun spesivitasnya rendah dan belum bisa memastikan alergi makanan tipe lambat. Pemeriksaan darah lainnya tidak direkomendasikan untuk memastikan penyebab alergi.

Dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy Clinic Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com