Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UTAMI dan Keajaiban ASI

Kompas.com - 21/03/2011, 06:20 WIB

Setiap tahun di Indonesia lahir sekitar lima juta bayi. Seandainya mereka semua memperoleh air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan, sekitar Rp 18 triliun dapat dihemat dan digunakan untuk ongkos pendidikan.

Bayi yang kemerahan itu baru saja dipotong ari-arinya. Tangisan pertamanya yang melengking langsung berhenti ketika ia ditelungkupkan di dada ibunya. Makhluk kecil itu merambat perlahan. Kakinya melengkung seperti sedang menanjak. Sejenak gerakannya terhenti, dan matanya terbuka. Secara refleks, ia menatap mata sang ibu. Mulutnya pun terbuka. Ia menciumi dan menjilati kulit ibunya. Dan, ia pun merambat menuju ”sumber kehidupan,” puting susu sang ibu....

Ekspresi keharuan sekilas menyeruak dari wajah ayu dokter spesialis anak Utami Roesli, SpA, IBCLC, FABM.

Klik. Ia pun menutup rekaman video yang ada di layar laptopnya dan membuka pembicaraan tentang ”periode emas” dalam kehidupan awal seorang bayi melalui inisiasi menyusu dini (IMD).

”Keajaiban ini telah dipersiapkan oleh Allah SWT. Lihatlah bagaimana bayi bergerak. Kakinya memanjat, tangannya menggapai-gapai, kepalanya dibentur-benturkan pada dada ibu. Semua gerakan ini disengaja. Sangat ajaib bukan? Setiap bayi yang dilahirkan telah diberi kemampuan ini. Jangankan anak manusia, anak harimau saja begitu dilahirkan langsung bergerak mencari susu ibunya,” kata Utami dalam percakapan dengan Kompas di ruang kerjanya di Jakarta Women and Children Clinik (JWCC), Selasa (15/3) pagi.

Beberapa rekaman video serupa dari bayi-bayi yang berbeda kemudian diperlihatkannya. Ada bayi yang memerlukan waktu 21 menit untuk menemukan puting ibunya, ada yang memerlukan waktu 51 menit.

Namun, menurut Utami, bukan soal menemukan puting ibu yang terpenting di sini. Tapi bagaimana kulit ibu dan kulit anak saling bersentuhan membangun ikatan emosi.

Prosesnya sangat sederhana. Segera setelah bayi lahir ia ditengkurapkan di dada ibu sehingga kulit ibu melekat pada kulit bayi, paling sedikit selama satu jam. Ketika kulit bayi menempel pada badan ibunya, kulit ibu akan langsung menyesuaikan suhunya dengan suhu yang dibutuhkan sang bayi.

”Kita harus ingat bahwa ketika dilahirkan bayi akan mengalami trauma, dari kondisi nyaman di dalam kandungan ke kondisi di luar kandungan. Kontak dari kulit ke kulit antara ibu dan bayi akan mengingatkan bayi pada kondisi di dalam kandungan dan mengembalikan rasa nyamannya,” kata Utami.

Tak dinyana, proses sederhana yang hanya memerlukan waktu satu jam itu dampaknya berpengaruh panjang dalam kehidupan awal seorang anak. Hasil penelitian menunjukkan, proses inisiasi menyusu dini dapat menurunkan tingkat angka kematian bayi sampai 22 persen.

”Allah Maha Besar. Ibu-ibu yang memberi kesempatan bayinya menyusu segera setelah lahir, delapan kali lipat lebih besar kemungkinannya untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan,” katanya.

Jika bayi yang baru dilahirkan dimandikan, dibersihkan dulu, kemudian ditimbang, terus dicap, dan baru dikembalikan pada ibunya, maka sang bayi akan kehilangan periode emas yang sangat menentukan.

”Lihat video ini.... si bayi (yang tidak mengalami proses IMD) mengalami bingung puting. Yang terpenting di sini adalah skin to skin contact. Dan lihat, bayi-bayi yang sudah melewati IMD selama 1-2 jam, ketika mereka dikembalikan pada ibunya, dia bisa menemukan puting ibunya dengan sangat mudah. Bayi-bayi ini dipandu oleh bau tubuh ibunya. Dada ibulah yang disiapkan Tuhan untuk bayi, bukan inkubator. Ini tempat tidur terhebat,” lanjut ibu dari dari dua putra dan nenek dari tiga cucu ini.

Bukan hanya itu, setelah proses IMD, bayi juga tidak boleh dipisahkan dari ibunya untuk 24 jam kemudian. Dengan demikian, ibu dan bayi dirawat dalam satu kamar selama 24 jam dan tempat tidur bayi harus dalam jangkauan tangan ibu.

”Tidak masalah dengan ibu yang dirawat di kamar yang pasiennya ada tiga atau empat orang. Tempat tidur bayi bisa diletakkan di sisi ranjang ibu. Ini penting untuk memelihara bonding yang telah terjadi antara ibu dan anak lewat IMD. Jika si bayi dipisahkan kembali, ia akan cemas,” katanya.

Pertanyaannya, bagaimana ibu bisa meyakinkan rumah sakit untuk meminta bayinya diletakkan di dadanya segera setelah dilahirkan dan menjalani rawat gabung?

”Menurut saya, kita harus empowering the mother karena anak adalah titipan Allah pada ibunya. Lagi pula mereka kan membayar pada rumah sakitnya. Mereka jelas punya hak. Kalau di Jakarta, sekarang para ibu sudah banyak yang menuntut hak ini pada rumah sakitnya: ”Kalau saya sehat dan bayi saya sehat, apakah saya bisa melakukan IMD selama satu jam di dada ibunya dan 24 jam bayi tidur didekatkan dengan ibunya? Kalau tidak, saya bisa cari rumah sakit lain.” Nah, sekarang sudah banyak ibu yang bisa seperti itu. Tapi, para ibu juga harus punya pengetahuan yang benar tentang IMD. IMD itu at least satu jam, bahkan sekarang diusulkan bayi baru diangkat dari dada ibunya setelah dua jam,” kata Utami yang juga cucu dari sastrawan Angkatan Balai Pustaka, Marah Roesli.

ASI eksklusif

Tahun 2010 Utami memperoleh gelar ”Pendekar Anak” dari Unicef berkat kegigihannya mengampanyekan pentingnya pemberian ASI eksklusif.

”Air susu ibu adalah satu-satunya makanan bayi, tidak ada yang lain. Semua yang saya bicarakan ini ditunjang oleh berbagai penelitian ilmiah,” tegasnya. Utami juga mengutip ayat Al Quran maupun Injil.

”Silakan Anda baca surat Al Baqarah ayat 233, dan bagi yang Kristiani pada Samuel ayat 2. Bukankah itu semua memberi isyarat pada kita betapa pentingnya air susu ibu?” ujarnya.

Utami mengaitkan pemberian ASI eksklusif dengan pembangunan generasi masa depan yang lebih bermutu. Pemberian ASI eksklusif tidak hanya meningkatkan kesehatan fisik dan mental ibu beserta bayinya, tetapi juga kesehatan keuangan keluarga. Dalam matematika yang sederhana, seandainya semua ibu yang melahirkan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan, ada nilai rupiah sekitar 18 triliun yang dihemat.

Hitungannya, bila dalam setahun ada lima juta bayi yang dilahirkan, setiap bayi membutuhkan 55 kaleng susu per enam bulan, dengan harga per kaleng sekitar Rp 65.500, maka perkalian itu akan menghasilkan angka Rp 18,012 triliun.

”Apakah tidak lebih baik bila biaya itu dialihkan untuk pendidikan anak? Kalau saya bisa menolong keluarga yang berpenghasilan sebulan hanya Rp 500.000, maka kita akan bisa menolong the whole family. Untuk enam bulan pertama kehidupan, ASI cukup sebagai makanan tunggal,” katanya.

Saat ini, tingkat kematian bayi dan anak balita di Indonesia masih sangat tinggi, sekitar 44 anak balita per 1.000 orang sehingga jika dalam setahun ada lima juta bayi yang lahir, berarti dalam sehari ada 550 anak balita yang meninggal dunia!

”Bayangkan, itu sama dengan pesawat jumbo jet yang jatuh setiap hari dan isinya semua anak balita! Artinya, setiap 2,5 menit satu anak balita di Indonesia meninggal. Sudah berapa banyak anak balita yang meninggal sewaktu kita mengobrol di sini? Please, mereka meminta tolong kepada kita. Mereka ingin hidup,” kata Utami.

Untuk menolong para anak balita itu, caranya tidak perlu muluk-muluk. Cukup dengan pemberian ASI eksklusif enam bulan, kemudian 18 bulan selanjutnya ASI yang dicampur dengan makanan rumah—tidak perlu makanan kaleng. Itu semua, kata Utami, bisa menekan kematian bayi dan anak balita sampai 13 persen.

”Dari semua opsi intervensi, intervensi paling efektif untuk mengurangi kematian bayi adalah air susu ibu. Kenapa harus dua tahun karena antara 0 sampai 2 tahun adalah periode pertumbuhan otak yang pesat sekali,” kata Utami.

Ia kemudian menunjukkan hasil penelitian terbaru (Journal of Pediatrics, Oktober 2009), di mana ibu-ibu yang melahirkan diikuti terus perkembangannya selama 14 tahun, sampai si bayi remaja. Hasilnya adalah semakin lama si bayi memperoleh ASI, semakin kurang gangguan mental pada anak dan remaja. Gangguan yang termasuk di sini di antaranya depresi, psikosomatik, gangguan bersosialisasi, kenakalan remaja, dan tingkah laku agresif.

”Bukankah perilaku-perilaku ini yang sekarang kita prihatinkan terjadi di negara kita? Orang menjadi anarkis, koruptif, membunuh orang seenaknya? Ayo ibu-ibu, pikirkan masa depan negara ini,” katanya.

Lantas, bagaimana bila ibu yang melahirkan tidak keluar air susunya?

”Dari 1.000 ibu yang mengaku air susunya kurang, sebetulnya hanya 1 sampai 2 persen yang air susunya benar-benar kurang. Sisanya yang 99 persen hanya kurang informasi mengenai cara menyusui yang benar atau belum bertemu dengan orang-orang yang bisa membantu mereka untuk memberi pengarahan yang benar,” kata Utami.

Penyesalan dan kanker

Keterlibatan Utami dengan persoalan ASI dimulai 25 tahun lalu ketika ia mengikuti sebuah kongres di Australia. Di sana tersedia beragam kursus, tetapi tempat yang kosong baginya adalah di bagian ASI. Dari situlah kecintaannya dan kegigihannya untuk mengampanyekan ASI eksklusif bermula. Apalagi, rumah sakit tempatnya bekerja, RS StCarolus, terus memberinya kesempatan untuk menambah pengetahuan soal ASI.

Apakah Anda dulu memberikan ASI eksklusif kepada dua putra Anda?

Tidak. Padahal, ibu saya adalah dokter anak (Edyana Roesli) yang telah bekerja di rumah sakit—tempat saya melahirkan— selama 30 tahun. Tetapi, sewaktu anak saya yang kedua lahir pada tahun 1974, pengetahuan tentang ASI eksklusif belum ada. Saat itu biasa saja bayi dipisahkan dari ibunya, diberi langsung susu formula karena ASI belum keluar. Itu sebabnya saya sekarang lebih keras mengampanyekan itu karena saya tidak memberikan ASI dengan benar kepada anak-anak saya sehingga saya malu sekali sama Tuhan. Alhamdulillah, Tuhan memberikan saya anak yang baik dan soleh.

Bukankah itu bisa diartikan tidak memberikan ASI dengan benar, tetapi anaknya tetap baik fisik dan mentalnya?

Mmm...... begini ya. Baiklah, saya tidak keberatan diungkap. Saya menderita kanker payudara karena saya tidak menyusui dengan benar. Itu terjadi 21 tahun lalu dan saya sudah melewati penyinaran hampir 50 kali. Alhamdulillah, payudara saya tidak diangkat. Allah sudah sangat baik dengan saya, walaupun saya sudah melakukan kesalahan, saya tetap diberi kesempatan hidup yang luar biasa. Oleh karena itu saya ngotot agar ibu-ibu lain tidak mengulangi kesalahan yang saya lakukan.

Please don’t do what I did. Saya telah membuat kesalahan, saya meminta maaf kepada Tuhan dan anak-anak, tetapi kita jangan mengulangi kesalahan. Meskipun demikian, upaya saya kan terbatas dari kamar ini saja. Anda-Anda semua yang harus membantu kampanye ini,” ujarnya. (WKM)

Penulis Myrna Ratna dan Yulia Sapthiani

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com