Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Bersama Myasthenia Gravis

Kompas.com - 03/04/2011, 12:57 WIB

Oleh :Mawar Kusuma

”Kami adalah orang-orang yang tidak bisa punya janji,” kata Dessy Andriani (45) tentang dia dan teman-temannya sesama penderita penyakit myasthenia gravis. Ketahanan hidup penderita MG biasanya sangat bergantung pada obat-obatan. Mereka harus menghindari kelelahan fisik, mental, paparan udara panas, bahkan tidak boleh terlalu gembira atau sedih.

Dari sebelumnya berjanji akan bertemu pada jam makan siang setelah menemani bosnya bermain golf, Dessy justru tiba-tiba masuk Rumah Sakit Pasar Rebo karena penyakit myasthenia gravis-nya kambuh, Kamis (10/3). Dia tergolek lemah dan harus bernapas dengan bantuan selang-selang yang dihubungkan di tubuhnya.

Janji pertemuan dengan beberapa anggota komunitas penderita myasthenia gravis (MG) di rumah Rita F Nurlambang (50) juga tiba-tiba batal pada jam-jam terakhir. Sabtu (12/3), seorang anggotanya, Erry Susanto, meninggal dunia setelah hampir sebulan terbaring kritis di Rumah Sakit Krakatau Medika, Cilegon.

Ketika ada anggota yang meninggal dunia, tak jarang sisa obat-obatan dihibahkan untuk meringankan beban penderita MG lainnya. Menurut Rita, kambuhnya penyakit MG sebenarnya tidak tiba-tiba, tapi memang terkesan tiba-tiba. Penderita MG umumnya merasa dirinya kuat sehingga tetap memaksakan beraktivitas sehingga seakan tiba-tiba kambuh. ”Kadang sudah merasa terbiasa dengan MG. Merasa bisa dan bisa tapi malah ambruk,” ujar Rita yang telah lima tahun terdiagnosis MG.

Pertama kali terdeteksi menderita MG, Rita mengaku sama sekali tidak tahu-menahu tentang penyakit ini. Seiring berjalannya waktu, ia dibuat terkaget-kaget dengan kondisi tubuhnya yang makin menurun. ”Awalnya cuma mikir nama penyakitnya, kok, cantik banget, setelah itu banyak kekagetan. Saya tak lagi bisa jadi superwoman,” tambahnya.

Dari awalnya susah bernapas, Rita pun tak lagi bisa mengangkat tangan. Lama-lama, Rita bahkan tak sanggup berjalan naik tangga. Enam bulan pertama, Rita ambruk secara psikologis sebelum kemudian dia bisa menerima keadaan. Agar daya tahan tubuh terjaga, Rita meninggalkan pekerjaan sebagai dosen dan kini menekuni bisnis kerajinan tangan.

Meski sudah langganan rawat inap di rumah sakit, Dessy memilih masih bekerja sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan di Menteng, Jakarta Pusat. Tahun lalu, ia bolak-balik dirawat inap di rumah sakit hingga tiga kali karena MG. Tiap kali masuk rumah sakit, ia bisa dirawat 10-15 hari. Kali ini, Dessy dirawat karena sempat gagal bernapas. ”Mau marah tidak bisa, mau protes juga tidak bisa. Harus menerima hidup dengan MG,” kata Dessy.

Imunitas

Dokter spesialis saraf Salim Harris Sp Sk menyatakan bahwa MG merupakan penyakit autoimun atau imunitas yang menyerang dirinya sendiri. Dalam kasus MG, tubuh membentuk zat antibodi terhadap kelenjar timus. Kelenjar timus ini seharusnya hanya ditemukan ketika bayi masih berada di kandungan.

Dalam perkembangan kedewasaan, kelenjar timus yang seharusnya menghilang setelah lahir ternyata masih aktif pada beberapa orang. Tubuh lalu membentuk antibodi terhadap sel-sel timus. Bentuk sel timus ini serupa dengan tempat produksi ine di daerah paut saraf otot.

Acetylcholine merupakan neurotransmitter untuk transportasi energi dari saraf ke otot. Ketika tubuh menghentikan produksi acetylcholine sebagai pembawa energi, maka saraf tak mampu lagi memerintah otot untuk bergerak. Dengan demikian, pada penderita MG, komunikasi antara saraf dan otot terganggu.

MG hanya menyerang orang-orang dengan sel timus aktif. Normalnya, sel timus berfungsi membantu memproduksi daya tahan tubuh bayi dalam kandungan. ?”Pemicu tidak matinya sel timus pada penderita MG belum diketahui,?” kata Salim ketika ditemui di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Rabu (16/3).

Penyakit MG, lanjut Salim, muncul dipicu oleh stres fisik maupun psikis. Kelelahan fisik akibat kehamilan pada perempuan dengan sel timus aktif, misalnya, bisa memicu penyakit MG. Konsumsi antibiotik jenis tertentu seperti aminoglikosida hingga magnesium pada obat penenang bisa memicu MG.

Penyakit ini lebih banyak menyerang kaum perempuan karena perempuan diserang pada usia lebih muda, yaitu 30-an tahun, sedangkan kaum pria baru terkena MG pada usia di atas 50 tahun.

Tak ada keseragaman gejala

Deteksi dini MG umumnya terkendala karena tidak ada keseragaman gejala awal. Jika yang terkena otot mata, maka kelopak mata penderita MG akan jatuh sebelah dan pandangan matanya menjadi dobel. Jika terkena otot napas, penderita akan kesulitan bernapas.

Diagnosa MG biasanya diawali dengan pemeriksaan klinis secara anamesis dan fisik. Pasien diajak berdialog dan diminta mempraktikkan manuver gerakan berulang-ulang. Pemeriksaan penunjang pun dilakukan dengan Electromyography (EMG) dan Harvey Masland Test.

Untuk pemeriksaan autoimun, sampel masih harus dikirim hingga ke Amerika Serikat. Jika ditemukan tumor timus atau kadar antibodi yang tinggi pada pemeriksaan foto scan torak, pasien harus dioperasi dengan operasi timektomi. ?”Pasien bisa sembuh, akan tetapi tetap harus diobati untuk menekan produksi antibodi dan menguatkan otot,”? tambah Salim.

Salah satu penguat otot adalah obat piridokstimin yang dikenal dengan nama pabriknya, mestinon. Obat ini berfungsi mempertahankan kadar acetylcholine agar tetap tinggi dalam darah. Pemerintah sudah menyediakan mestinon gratis melalui Askes. Sayangnya, mestinon yang diberikan secara gratis hanya 60 butir per bulan.

Nilla Angria Fitri (25), yang menderita MG sejak usia 12 tahun, menjalani hidup dengan ketergantungan pada mestinon. Jika membutuhkan aktivitas berat, ia mengonsumsi 4-5 butir mestinon per hari. Jika hanya tinggal di rumah, cukuplah 1-2 butir mestinon.

Awalnya, Nilla sering jatuh dengan kaki dan tangan kesemutan. Dokter sempat salah mendiagnosa ia kekurangan kalsium. Seiring semakin memburuknya kondisi dengan pernapasan yang kian memberat dan pandangan mata ganda (double vision), Nilla akhirnya dinyatakan menderita MG.

Ibu Nilla, Nurbaitie Azis (53), hampir selalu mendampingi Nilla. Ketika Nilla masih kuliah di Jurusan Matematika Universitas Terbuka, Nurbaitie mengantar dan menjemputnya hingga lulus. ”Tidak bisa dibiarkan sendirian, takut tiba-tiba jatuh,” ujar Nurbaitie.

Krisis MG, menurut Salim, bisa terjadi dan menimbulkan kematian jika telah menyerang otot pernapasan. Agar kondisi tubuh tetap sentosa, Salim berharap seluruh pasien MG bisa menjadi ahli MG buat dirinya sendiri.

”Kebanyakan pasien tahu penyakitnya, tapi tidak mau belajar. Saya bekali semua pasien dengan ilmu pengetahuan dan dia harus yakin bisa sembuh,” kata Salim.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com