Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RS Perlu Miliki Pola Resistensi Kuman

Kompas.com - 20/04/2011, 08:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar kesehatan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Iwan Dwiprahasto, mengingatkan pentingnya setiap rumah sakit memiliki pola resistensi kuman mengingat saat ini ada potensi terjadinya pandemi resistensi antibiotik karena penggunaannya yang berlebihan.     

"Seharusnya tiap tiga bulan rumah sakit membuat pola kuman dan pola resistensi tapi saat ini belum ada, data terakhir tahun 2002," ujar Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran UGM itu dalam acara peluncuran 'Indonesia Clinical Epidemiologi and Evidence-Based Medicine (ICE-BBM) Network' di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta kemarin.

Minimnya fasilitas seperti laboratorium mikrobiologi yang memadai disebut Iwan  masih merupakan kendala utama bagi rumah sakit di Indonesia untuk menyusun pola kuman itu.

Sementara pemerintah, disebut Iwan, belum dapat memfasilitasi penyusunan pola kuman itu karena masih memiliki prioritas lain yang dinilai lebih penting seperti pencapaian target Millenium Development Goals (MDG’s).

"Pemerintah tahu ini penting tapi mungkin karena dana terbatas. Tapi begitu sistemnya mapan, pola kuman ini harus disusun," ujarnya.

Pola kuman itu penting, tambah Iwan, sebagai langkah antisipasi atau pencegahan jika ditemukan adanya bakteri yang resistan terhadap antibiotik tertentu.

"Jadi akan tahu, kalau ada resistansi, pemberian antibiotik ini harus distop, tidak boleh lagi digunakan di rumah sakit itu. Selama 6-9 bulan harus distop, diganti oleh antibiotik yang lain dulu," katanya.

Sementara itu, potensi terjadinya pandemi resistensi antibiotik itu semakin diperparah dengan kenyataan bahwa tidak ada antibiotik baru yang ditemukan oleh perusahaan farmasi sehingga kuman semakin merajalela.

"Jadi jika terjadi pandemi resistansi. seluruh dunia kehilangan senjata antibiotik untuk melawan kuman yang ada. Dampaknya adalah target kita untuk menurunkan jumlah kematian karena infeksi tidak akan tercapai," papar Iwan.

Penggunaan antibiotik yang rasional merupakan tema Hari Kesehatan Sedunia 2011 yang ditetapkan oleh WHO setelah ditemukan banyak antibiotik yang tidak lagi mempan untuk membunuh jenis kuman tertentu.

Salah satunya adalah sebuah bakteri "super" atau superbug yang bernama NDM-1 (New Delhi Metallo-beta-laktamase-1)  yang telah muncul di India, Pakistan, Inggris, Amerika dan berbagai belahan dunia lainnya.

Menurut Iwan, bakteri yang berasal dari India itu menjadi resistan (kebal) terhadap antibiotik yang memang digunakan secara "membabi buta" di rumah sakit-rumah sakit negara tersebut.

"Di sana (India) penggunaan antibiotik luar biasa, akibatnya sekarang tidak ada lagi antibiotik yang dapat digunakan," katanya.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengungkapkan bahwa pada 2009, Indonesia merupakan negara dengan kasus tertinggi ke delapan dari 27 negara dengan kasus "multidrug resistance" (MDR) Tuberkulosis (TB) yang disebabkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.

Diperkirakan terdapat 12.209 pasien MDR Tuberkulosis (TB) di seluruh Indonesia pada 2007 dan diperkirakan muncul 6.395 pasien MDR-TB baru setiap tahun.

"Penggunaan antibiotik yang tidak tepat itu bukan hanya terjadi di Indonesia tapi hampir di seluruh dunia. Antibiotik perlu digunakan secara rasional agar tidak menimbulkan masalah resistansi," ujar Menkes dalam peringatan Hari Kesehatan Sedunia beberapa waktu lalu.

Resistensi antimikroba memberikan dampak negatif yang bertingkat terhadap upaya penanggulangan penyakit menular antara lain memperpanjang masa infeksi, memperburuk kondisi klinis, dan mengharuskan penggunaan antimikroba tingkat lanjut yang lebih mahal dengan efek samping dan toksisitas yang lebih besar.

Kementerian Kesehatan juga menerbitkan buku Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika yang diharapkan menjadi acuan dalam penggunaan antibiotika bagi tenaga kesehatan di seluruh sarana pelayanan kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com