Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelelahan Kronis Akibat Pekerjaan

Kompas.com - 25/04/2011, 07:56 WIB

”Saya, 39 tahun, sudah lama bekerja sebagai guru bahasa asing di sebuah SMA swasta. Sekarang ditambah merangkap jabatan sebagai Wakil Kepala Sekolah di situ. Saya adalah ibu dari 2 anak gadis yang menurut saya tidak bermasalah dengan tingkah lakunya, mereka cukup patuh dan punya nilai bagus di sekolahnya, tidak seperti kebanyakan murid saya yang sulit diatur.

Suami juga tampak oke-oke saja, dengan pendidikan S-2-nya, dia adalah pegawai negeri dengan karier yang baik. Jadi, dengan keadaan seperti ini kalau dipikir-pikir saya harusnya tak punya masalah. Tapi ada hal yang saya ingin bahas bersama Ibu.

Saya merasa dua tahun terakhir ini sering uring-uringan, merasa tidak tenang, rasanya banyak sekali tugas yang harus saya selesaikan, tak habis-habisnya. Kalau sudah hari Minggu sore, badan rasanya lemas, tidak bersemangat untuk mengajar esok harinya. Jadi libur akhir pekan yang 2 hari itu tidak cukup buat saya.

Memang saya punya tukang masak yang bisa membantu urusan rumah tangga, tapi saya juga harus menyelesaikan banyak pe-er, seperti memeriksa tugas murid dan persiapan mengajar. Kalau kami sekeluarga pergi jalan ke mal untuk makan bersama di akhir pekan, saya merasa tak bisa menikmati lagi, yang terpikir adalah belum menyelesaikan pe-er yang bertumpuk itu. Tapi kalau sudah menghadapi pekerjaan, saya langsung merasa capek sekali dan bosan.

Menurut suami, saya akhir-akhir ini mudah marah kepada anak-anak hanya karena hal-hal yang kecil. Dia memang bilang kalau saya itu dasarnya terlalu ingin sempurna dan serius menanggapi persoalan, jadi mudah stres. Apa sebaiknya saya berhenti bekerja saja? Tapi di lain pihak, saya juga merasa sayang kalau karier saya berhenti sekarang ini. Terima kasih, Bu.”

(KT di Jakarta)

Gejala dan diagnosis

Dari gejala-gejala yang Ibu sampaikan, saya melihat Ibu sebagai seorang guru yang sedang mengalami suatu kondisi yang disebut sebagai ”burnout” (istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger pada tahun 1970). Seseorang dengan kondisi burnout paling tidak satu tahun terakhir mengalami berbagai gejala fisik dan mental.

Secara fisik, seseorang rentan terhadap penyakit, seperti sakit kepala, lemas, gangguan pencernaan; sedangkan secara mental, muncul gejala mudah marah, sinis, sedih, tidak simpati, dsb.

Lebih lanjut, melalui berbagai penelitian yang dilakukan Maslach (1982) diungkapkan bahwa burnout merupakan sindroma (gabungan gejala) kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan hasrat dalam pencapaian prestasi, yang sering terjadi pada pekerjaan yang sifatnya melayani orang lain.

Kondisi ini merupakan pengalaman yang menekan (stressful) karena adanya tuntutan yang timbul akibat hubungan interpersonal yang asimetris antara pemberi dan penerima pelayanan. Pada kasus Ibu KT, hubungan asimetris terjadi misalnya dengan adanya ciri perfeksionis dan sifat kurang tenang dari Ibu yang tidak sinkron dengan kondisi murid yang terlihat kurang patuh dan kurang serius mengerjakan tugas latihan. Sementara tugas tambahan yang dijalani Ibu KT juga menyita lebih banyak waktu dan pikiran.

Dimensi ”burnout”

Ada 3 macam dimensi dari burnout, yaitu:

1. Kelelahan emosional. Dimensi ini merupakan reaksi terhadap kondisi yang dialami pemberi pelayanan (guru, dokter, perawat, konselor, dsb) karena adanya tuntutan emosional yang dipandang berlebihan dari penerima pelayanan. Pemberi pelayanan dapat merasa energinya terkuras habis, tak punya sumber emosional lagi, lelah, lemas, dan kehilangan minat atau semangat.

2. Depersonalisasi. Dimensi yang berkembang lebih lanjut, ditandai oleh perasaan negatif pada penerima pelayanan, seperti menjaga jarak, tidak berperasaan, sikap negatif kepada penerima pelayanan, kehilangan idealisme, bekerja seperlunya, mudah marah dan tersinggung.

3. Penurunan hasrat mencapai prestasi diri. Munculnya respons negatif terhadap diri sendiri dan prestasi kerja, seperti merasa tidak bahagia, tidak puas, rasa bersalah, merasa gagal, menilai diri rendah, tidak mampu, menarik diri, menurunnya semangat kerja, dsb.

Mengatasi ”burnout”

Menurut hemat saya, berhenti bekerja sama sekali bukanlah solusi terbaik saat ini. Bukankah kondisi keluarga sejauh ini baik-baik saja, tidak memerlukan perhatian khusus dari Ibu. Ibu hanya perlu memulihkan tenaga, pikiran, dan emosi yang lelah dengan mengambil cuti beberapa waktu, misalnya satu semester, untuk tidak mengajar dulu.

Tugas-tugas sebagai Wakil Kepala Sekolah yang mungkin lebih bersifat administratif, tidak langsung berhubungan dengan para murid, dapat terus dijalani sejauh tak ada masalah. Beberapa hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah:

1. Mengenali dan menerima diri lebih baik. Ibu perlu mendalami sifat-sifat pribadi mana yang bermanfaat untuk dilanjutkan dalam menghadapi para murid dan mana yang justru akan merugikan diri Ibu, misalnya sifat terlalu perfeksionis acapkali justru menimbulkan perlawanan pada murid remaja. Mengenali pola perilaku pribadi dapat membantu mengurangi stres dalam hidup karena menghilangkan konflik antarindividu yang tidak perlu.

2. Menurunkan harapan dan bersikap lebih santai. Hal ini bukan berarti Ibu harus menoleransi perilaku murid yang kurang positif dengan membiarkan mereka tidak membuat pekerjaan rumah atau latihan, tapi kurangi kekakuan dalam menentukan aturan atau kurangi kekesalan menghadapi murid yang mengobrol, misalnya. Belajar lebih banyak mendengarkan keluhan murid di luar kelas tanpa langsung memberi nasihat akan membantu ibu merasa lebih baik dan santai.

3. Berfokus pada dan belajar mensyukuri kelebihan atau keberhasilan yang telah dicapai selama ini, serta mengurangi pemikiran atas kegagalan yang dialami di masa lalu.

4. Menjaga keselarasan/keseimbangan hidup secara keseluruhan. Keseimbangan ini bisa berlainan antarindividu. Namun, kita perlu berfokus pada hal-hal yang penting saja dalam hidup, tidak terlalu memusingkan diri dengan hal-hal yang remeh atau kecil. Menyediakan ”me time”, waktu untuk diri sendiri, minimal setengah jam setiap hari akan memulihkan energi kita sehingga dapat kembali ke penyelesaian tugas selanjutnya dengan lebih tenang.

Selamat terus beraktivitas, salam sukses Ibu Guru.

Agustine Dwiputri, Psikolog

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com