Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hipertensi, Pembunuh Diam-diam

Kompas.com - 16/05/2011, 02:52 WIB

Pada SKRT tahun 1986 secara mengejutkan hipertensi naik menduduki urutan ke-3. Sejak SKRT tahun 1992, kemudian 1995, lalu 2001, posisinya telah mencapai urutan ke-1. Hanya dalam tempo 20 tahun, dari urutan ke-11 melesat ke urutan pertama dan bertahan sampai sekarang.

Jadi, pembunuh diam-diam ini benar-benar laksana teroris. Hipertensi bertahun-tahun menyerang tubuh kita secara diam- diam dan tiba-tiba dalam sekejap menyebabkan kematian atau setidaknya disfungsi (gerak, bicara, memori, dan seterusnya).

Saat ini terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan. Beberapa puluh tahun lalu hipertensi dan berbagai komplikasi beratnya dikenal sebagai penyakit yang hanya menyerang orang-orang tua (usia 50 tahun ke atas). Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, banyak dijumpai kasus kematian mendadak, kelumpuhan, atau stroke yang menyerang orang-orang berusia muda (di bawah 50 tahun).

Dengan demikian, ”sang teroris” mulai menyerbu kelompok usia produktif yang merupakan tulang punggung perekonomian. Jika hal ini dibiarkan, bisa jadi semua kelompok usia produktif kita akan mengidap hipertensi. Betapa mengerikannya!

Faktor gaya hidup

Memang banyak faktor risiko bagi meningkatnya kasus hipertensi. Namun, para ahli umumnya bersepakat bahwa faktor risiko yang utama adalah perilaku atau gaya hidup (life style). Itu sebabnya The 5th Scientific Meeting on Hypertension yang diselenggarakan oleh Perhi pada 26-27 Februari 2011 bertema ”Hypertension and Risk Factors Interaction: Preventing Cardiovascular Complications by Life Style Modification”.

Dulu kita banyak makan pecel, gado-gado, lotek, karedok, dan sejenisnya yang kaya akan sayuran. Tetapi, dalam beberapa dasawarsa terakhir, kita, terutama anak-anak, tidak lagi doyan makanan itu karena lebih menggemari hamburger, donut, pizza, bakso, dan juga mi instan.

Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 93,6 persen penduduk Indonesia kurang makan buah dan sayur. Keripik kentang (potato chips) dan sejenisnya yang merupakan jajanan berkadar garam tinggi juga menjadi kegemaran anak-anak.

Riskesdas 2007 melaporkan, hampir seperempat (24,5 persen) penduduk Indonesia yang berusia di atas 10 tahun mengonsumsi makanan asin setiap hari. Maka, konsumsi garam di masyarakat kita masih terbilang tinggi, yaitu 15 gram per orang per hari. Angka ini jauh dari batas maksimal yang dianjurkan, yaitu 6 gram atau sekitar 1 sendok teh per orang per hari. Garam adalah salah satu bahan yang harus dikurangi jika seseorang ingin terhindar dari hipertensi.

Kurang gerak juga merupakan faktor risiko yang cukup menonjol saat ini. Kemajuan teknologi yang merambah bahkan sampai ke desa-desa telah sangat memanjakan orang. Jalan kaki atau bersepeda digantikan oleh ojek atau angkot. Tangga diganti dengan lift atau eskalator. Anak-anak yang dulu bermain kasti atau petak umpet yang banyak berlari kini lebih asyik bermain Playstation atau online game yang hanya membutuhkan gerakan jari-jari tangan.

Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 48,2 persen penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik. Kegemukan (obesitas) akan memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang yang memiliki kepekaan turunan. Hal-hal tersebut masih diperparah dengan kebiasaan buruk lain, seperti merokok, mengonsumsi alkohol, dan stres. Dari Riskesdas 2007 diketahui bahwa 23,7 persen penduduk umur 10 tahun ke atas merokok setiap hari.

Oleh karena itu, gaya hidup masyarakat harus segera diubah. Memang tidak mudah karena hal itu juga berarti perubahan terhadap sistem nilai dan norma- norma, selain peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat. Sebenarnya saat ini bibit-bibit ke arah perubahan sudah mulai tampak, misalnya dengan semakin banyaknya orang yang gemar berjalan kaki atau bersepeda. Namun, tetap perlu pelembagaan dengan sistem yang dapat mempercepat perubahan bibit-bibit itu menjadi budaya bangsa secara menyeluruh.

Bambang Hartono Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com