Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hipertensi, Pembunuh Diam-diam

Kompas.com - 16/05/2011, 02:52 WIB

Bambang Hartono

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa tanggal 17 Mei 2011 adalah Hari Hipertensi Sedunia. Masyarakat pada umumnya memang masih belum peduli terhadap kondisi tekanan darahnya.

Saat ini diperkirakan terdapat 76 persen kasus hipertensi di masyarakat yang belum terdiagnosis. Ini karena penderita tidak menyadari dirinya mengidap hipertensi.

Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit darah tinggi adalah peningkatan abnormal tekanan darah, baik tekanan darah sistolik maupun tekanan darah diastolik. Dalam keadaan normal, tekanan darah sistolik (saat jantung memompakan darah) kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah diastolik (saat jantung istirahat) kurang dari 80 mmHg.

Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Perhi) membuat batasan bahwa yang disebut hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik di atas 85 mmHg. Tekanan darah disebut optimal bila berada pada kisaran 120 mmHg/70 mmHg.

Hari Hipertensi Sedunia tahun ini bertema ”Know Your Numbers, Target Your Blood Pressure” yang dalam versi bahasa Indonesia-nya berbunyi ”Kenali Tekanan Darah Anda dan Kendalikan”. Tema itu untuk kondisi Indonesia sangat tepat karena saat ini hipertensi telah muncul sebagai masalah serius kesehatan masyarakat.

Prevalensi tinggi

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan menunjukkan, prevalensi hipertensi di Indonesia (berdasarkan pengukuran tekanan darah) sangat tinggi, yaitu 31,7 persen dari total penduduk dewasa. Prevalensi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Singapura (27,3 persen), Thailand (22,7 persen), dan Malaysia (20 persen).

Hipertensi memang dapat dikatakan sebagai pembunuh diam-diam atau the silent killer. Hipertensi umumnya terjadi tanpa gejala (asimptomatis). Sebagian besar orang tidak merasakan apa pun, meski tekanan darahnya sudah jauh di atas normal. Hal ini dapat berlangsung bertahun-tahun sampai akhirnya penderita (yang tidak merasa menderita) jatuh ke dalam kondisi darurat dan terkena penyakit jantung, stroke, atau rusak ginjalnya. Komplikasi ini banyak berujung pada kematian sehingga yang tercatat sebagai penyebab kematian adalah komplikasinya.

Dalam hal ini, patut disimak perkembangan berikut. Penyakit jantung koroner, misalnya—yang sangat erat berkaitan dengan hipertensi—ternyata perlahan tapi pasti merangkak naik sebagai penyebab kematian utama di Indonesia. Dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang diselenggarakan Departemen Kesehatan tahun 1972, ia masih berada pada urutan ke-11.

Pada SKRT tahun 1986 secara mengejutkan hipertensi naik menduduki urutan ke-3. Sejak SKRT tahun 1992, kemudian 1995, lalu 2001, posisinya telah mencapai urutan ke-1. Hanya dalam tempo 20 tahun, dari urutan ke-11 melesat ke urutan pertama dan bertahan sampai sekarang.

Jadi, pembunuh diam-diam ini benar-benar laksana teroris. Hipertensi bertahun-tahun menyerang tubuh kita secara diam- diam dan tiba-tiba dalam sekejap menyebabkan kematian atau setidaknya disfungsi (gerak, bicara, memori, dan seterusnya).

Saat ini terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan. Beberapa puluh tahun lalu hipertensi dan berbagai komplikasi beratnya dikenal sebagai penyakit yang hanya menyerang orang-orang tua (usia 50 tahun ke atas). Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, banyak dijumpai kasus kematian mendadak, kelumpuhan, atau stroke yang menyerang orang-orang berusia muda (di bawah 50 tahun).

Dengan demikian, ”sang teroris” mulai menyerbu kelompok usia produktif yang merupakan tulang punggung perekonomian. Jika hal ini dibiarkan, bisa jadi semua kelompok usia produktif kita akan mengidap hipertensi. Betapa mengerikannya!

Faktor gaya hidup

Memang banyak faktor risiko bagi meningkatnya kasus hipertensi. Namun, para ahli umumnya bersepakat bahwa faktor risiko yang utama adalah perilaku atau gaya hidup (life style). Itu sebabnya The 5th Scientific Meeting on Hypertension yang diselenggarakan oleh Perhi pada 26-27 Februari 2011 bertema ”Hypertension and Risk Factors Interaction: Preventing Cardiovascular Complications by Life Style Modification”.

Dulu kita banyak makan pecel, gado-gado, lotek, karedok, dan sejenisnya yang kaya akan sayuran. Tetapi, dalam beberapa dasawarsa terakhir, kita, terutama anak-anak, tidak lagi doyan makanan itu karena lebih menggemari hamburger, donut, pizza, bakso, dan juga mi instan.

Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 93,6 persen penduduk Indonesia kurang makan buah dan sayur. Keripik kentang (potato chips) dan sejenisnya yang merupakan jajanan berkadar garam tinggi juga menjadi kegemaran anak-anak.

Riskesdas 2007 melaporkan, hampir seperempat (24,5 persen) penduduk Indonesia yang berusia di atas 10 tahun mengonsumsi makanan asin setiap hari. Maka, konsumsi garam di masyarakat kita masih terbilang tinggi, yaitu 15 gram per orang per hari. Angka ini jauh dari batas maksimal yang dianjurkan, yaitu 6 gram atau sekitar 1 sendok teh per orang per hari. Garam adalah salah satu bahan yang harus dikurangi jika seseorang ingin terhindar dari hipertensi.

Kurang gerak juga merupakan faktor risiko yang cukup menonjol saat ini. Kemajuan teknologi yang merambah bahkan sampai ke desa-desa telah sangat memanjakan orang. Jalan kaki atau bersepeda digantikan oleh ojek atau angkot. Tangga diganti dengan lift atau eskalator. Anak-anak yang dulu bermain kasti atau petak umpet yang banyak berlari kini lebih asyik bermain Playstation atau online game yang hanya membutuhkan gerakan jari-jari tangan.

Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa 48,2 persen penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik. Kegemukan (obesitas) akan memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang yang memiliki kepekaan turunan. Hal-hal tersebut masih diperparah dengan kebiasaan buruk lain, seperti merokok, mengonsumsi alkohol, dan stres. Dari Riskesdas 2007 diketahui bahwa 23,7 persen penduduk umur 10 tahun ke atas merokok setiap hari.

Oleh karena itu, gaya hidup masyarakat harus segera diubah. Memang tidak mudah karena hal itu juga berarti perubahan terhadap sistem nilai dan norma- norma, selain peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat. Sebenarnya saat ini bibit-bibit ke arah perubahan sudah mulai tampak, misalnya dengan semakin banyaknya orang yang gemar berjalan kaki atau bersepeda. Namun, tetap perlu pelembagaan dengan sistem yang dapat mempercepat perubahan bibit-bibit itu menjadi budaya bangsa secara menyeluruh.

Bambang Hartono Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com