Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sayur Organik dari Lereng Merbabu

Kompas.com - 20/06/2011, 02:51 WIB

Ketua Kelompok Tani Mardi Santoso, Subari, menyatakan, pertanian organik mampu menarik minat anak muda di desanya untuk tidak merantau ke kota. ”Kami meyakinkan anak muda bahwa pertanian organik sudah memiliki kepastian pasar sehingga pendapatan sudah dapat diukur,” kata Subari.

Giono (25) adalah salah satu contohnya. Ia kini berperan sebagai bendahara di Kelompok Tani Mardi Santoso. Sejak lulus dari SMA Negeri 1 Getasan, pria ini memilih bertani di desanya. ”Dengan sistem organik, kami sudah bisa berhitung akan mendapat keuntungan berapa. Kalau masih cara lama, petani bisa rugi ketika harga anjlok,” tuturnya.

Harun (45), petani di Desa Batur yang sempat menjadi tenaga kerja Indonesia di Malaysia, akhirnya memutuskan kembali ke Tanah Air dan menekuni pertanian organik. ”Dulu bertani sulit untung, kini sudah menjanjikan,” ujarnya.

Dia memiliki lahan seluas 3.000 meter persegi. Dengan menanam 3,0-3,5 kg benih per 1.000 meter persegi, petani dengan dua anak itu bisa memperkirakan pendapatannya. Dari 1.000 meter persegi lahan, misalnya, bisa dihasilkan 450-600 kg buncis perancis. Jika 1 kg dihargai Rp 6.000, Harun sedikitnya mengantongi Rp 2,7 juta untuk sepertiga lahan atau Rp 8,1 juta dari seluruh lahan miliknya.

Karena berprospek, bantuan demi bantuan dari pemerintah pun bergulir, dari pendampingan teknis, penyediaan alat-alat pascapanen seperti timbangan dan alat pengemas, pembangunan screen house, embung-embung untuk menunjang pengairan, hingga bangunan untuk penanganan hasil panen.

Pengurus Kelompok Tani Tranggulasi, Jumari (44), menyebutkan, sebelum ada bantuan, kelompok menyewa mobil sendiri untuk mengangkut sayuran. Kini, pemerintah memfasilitasi mereka dengan mobil berpendingin.

Mengubah pola pikir petani dari konvensional ke pola yang lebih tertata menjadi hambatan terbesar. Dalam pertanian organik, misalnya, dibutuhkan kemampuan manajemen yang rapi sejak tahap produksi hingga pemasaran, tidak sekadar memproduksi sebanyak-banyaknya.

Seorang petani di Dusun Sumogawe, Desa Bumirejo, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Suratman (51), misalnya, masih mempertimbangkan untuk beralih ke pertanian organik.

Sayangnya, meski sudah beralih ke organik pun, kemampuan manajemen Kelompok Tani Mardi Santoso masih lemah. Hal itu membuat kelompok jadi ragu untuk mengajukan kredit ke bank meskipun mereka membutuhkan. Padahal, sudah banyak bank yang menawarkan pinjaman karena potensinya.

Kelompok Tani Tranggulasi yang sudah lebih dulu berkiprah telah berhasil mengatur pola tanam. Pitoyo menyebutkan, dalam satu hari diupayakan selalu ada petani yang panen dan ada yang menanam. Buncis perancis selalu tersedia setiap hari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com