Kelompok ini menjual buncis perancis dengan harga Rp 9.000 per kg ke Singapura, tetapi petani mendapat harga jual Rp 6.000 per kg. Selisihnya, Rp 3.000, digunakan untuk biaya operasional dan menggaji para tenaga kerja, termasuk pengemas, sopir, dan buruh petik. Sejauh ini tidak ada petani yang tergiur menjual sayur di luar kelompok karena harga pasar tidak pernah lebih tinggi dari harga kelompok.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Semarang Urip Triyogo mengatakan, potensi sayur organik yang besar itu akan terus dikembangkan, termasuk kemampuan manajerial para petani. Jumlah petani yang baru 212 orang perlu ditingkatkan. Dari 3.000 hektar lahan pertanian sayur di Kabupaten Semarang, baru 58 hektar di antaranya yang menjelma menjadi pertanian organik atau baru sekitar 1,9 persen. Meski demikian, pertanian organik terbukti mampu meningkatkan taraf hidup petani dan warga setempat.
Karena itu, Pemkab Semarang akan mengembangkan kawasan lain untuk ikut beralih ke pertanian organik. Daerah-daerah di Getasan, Bandungan, Ambarawa, Sumowono, Bergas, dan Bawen akan dikembangkan menjadi pertanian organik untuk menjawab tantangan pasar ke depan.
Lebih dari itu, pertanian organik bukan sekadar mengikuti tren dan memenuhi kebutuhan pasar. Seperti kata Subari, petani setempat tidak peduli pangsa pasar sayur organik ada di luar negeri atau domestik, yang paling penting bagi petani adalah adanya kepastian pasar dan stabilitas harga.
Geliat lereng Merbabu diharapkan menginspirasi daerah