Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sembuhkan "Ngorok", Tingkatkan Prestasi

Kompas.com - 13/09/2011, 06:37 WIB

Oleh Ichwan Susanto

Penurunan konsentrasi belajar yang berpengaruh pada prestasi anak tidak disebabkan kekurangan gizi saja. Kinerja otak juga bisa dipengaruhi oleh gangguan tidur anak, yaitu mendengkur.

Dengkuran merupakan indikasi kuat adanya sumbatan pada jalan napas saat tidur. Secara medis, hal itu disebut obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), yakni penyakit gangguan tidur akibat sumbatan pada jalan napas.

Pada anak-anak, tidur merupakan aktivitas tubuh untuk pemulihan serta pertumbuhan seluruh sistem organ tubuh. Jika anak sering mendengkur sebaiknya segera dikonsultasikan ke dokter anak terdekat.

Gangguan tidur yang tidak tertangani dengan baik dalam jangka panjang dapat menyebabkan hiperaktif, mengantuk di sekolah, serta gangguan belajar yang bisa menurunkan prestasi akademik anak. Hal ini bisa terjadi karena pasokan udara (oksigen) ke pembuluh darah di otak serta jaringan tubuh lain kurang.

Untuk menentukan dengkuran berbahaya atau tidak, didiagnosis menggunakan polisomnografi (PSG) yang merekam aktivitas anak saat tidur. Melalui PSG diketahui adanya henti napas, usaha napas, dan frekuensi mendengkur.

Menurut guru besar yang juga Kepala Departemen Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bambang Supriyatno, ada dua kelompok mendengkur. Pertama, sering mendengkur (habitual snoring), yaitu mendengkur lebih dari tiga kali per pekan. Kedua, kadang mendengkur (occasional snoring), yakni mendengkur kurang dari tiga kali per pekan.

Radang tonsil

Umumnya, mendengkur pada anak disebabkan hipertrofi (pembesaran) adenoid dan tonsil (amandel) akibat peradangan. Kegemukan atau obesitas juga bisa meningkatkan risiko anak mendengkur dan OSAS.

Bambang mengatakan, manifestasi klinis OSAS yang mudah dipantau adalah mendengkur dan kesulitan bernapas saat tidur. ”Anak yang diketahui saat tidur pernah tersedak atau bangun tiba-tiba karena terganggu pernapasannya, mutlak secepat mungkin dibawa ke dokter,” katanya.

Dokter biasanya akan melakukan adenotonsiloktomi atau operasi pengangkatan amandel. Pada masa lalu, jika ditemui anak seperti itu, dokter akan menganjurkan untuk menunggu sampai anak berusia delapan tahun. Harapannya, peradangan pada amandel membaik dan mengecil dengan sendirinya.

Namun, seiring perkembangan medis, dokter tidak perlu lagi menunggu. Saat usia anak kurang dari delapan tahun sudah bisa dilakukan pengangkatan amandel sepanjang anak siap.

Mengenai kekhawatiran pengangkatan amandel bisa menurunkan ketahanan terhadap penyakit, Bambang mengatakan, saat anak bertambah besar fungsi pertahanan tubuh sebagian besar dilakukan limpa dan hati. ”Setelah usia tiga tahun, daya tahan tubuh sudah bagus. Tidak perlu takut. Kalau amandel pasien berusia tiga tahun harus diangkat, tidak masalah,” katanya.

Seberapa jauh pengangkatan amandel mengatasi OSAS, Bambang menjamin keberhasilan mencapai 75 hingga 100 persen. Dengan catatan, jika si anak tidak memiliki faktor risiko lain seperti obesitas atau ketidaknormalan/gangguan pertumbuhan bagian muka (disproporsi kraniofasial) seperti bentuk dagu terlalu kecil.

Jika gangguan tidur belum sampai membuat tersedak, atau hanya berupa dengkuran, dokter akan memberikan pengobatan dengan cara menyemprotkan cairan kortikosteroid intranasal. Biasanya ini diberikan selama empat hingga delapan minggu untuk mengurangi peradangan. Jika tidak ada perbaikan, baru diambil langkah pengangkatan amandel.

Pada remaja

Gangguan OSAS pada anak tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Adapun OSAS pada anak remaja dipengaruhi jenis kelamin. Ini karena pertumbuhan masa remaja pada perempuan, lemak banyak tumbuh di daerah pinggul. Adapun pada remaja lelaki, lemak timbul di sekitar leher sehingga menyebabkan saluran napas tertekan.

Gangguan OSAS telah ditemukan sejak seabad lalu, tapi kasus pada anak baru terungkap tahun 1970-an. Situs kesehatan online, http://emedicine.medscape.com, mencatat, jika OSAS pada anak tak tertangani dengan baik bisa membawa anak pada gangguan, seperti hiperaktif, mengantuk di sekolah, bahkan gangguan pembuluh darah.

Di Indonesia, jumlah penderita OSAS belum diketahui secara pasti. Namun, di Indonesia diperkirakan sebanyak 38,2 persen remaja yang mengalami obesitas dan mendengkur menderita OSAS.

Data di Amerika Serikat menunjukkan, prevalensi OSAS meningkat setiap tahun. Beberapa dekade lalu, prevalensi penyakit ini masih 0,1 persen. Kini, prevalensi melonjak menjadi 13 persen.

Hal ini diduga karena pola makan yang menyebabkan kegemukan. Faktor lain, masyarakat telah teredukasi penyakit ini sehingga memeriksakan diri saat mengalaminya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com