Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ingin Sukses Menyusui? Anda perlu Tim Sukses!

Kompas.com - 20/09/2011, 14:58 WIB

KOMPAS.com - Aktivitas menyusui sepertinya hanya terlihat sebagai interaksi antara ibu dan bayi. Namun jika bila diperhatikan seksama, ada beberapa pihak yang memiliki peranan besar di dalam kegiatan menyusui. Mereka adalah suami, orangtua, mertua, keluarga besar, sahabat, bahkan rekan kerja dan tetangga. Adanya dukungan dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci agar ibu dapat berhasil menyusui bayinya. Mereka adalah Tim Sukses ibu menyusui.

Berikut ini adalah sepenggal kisah dari Arisma Rahmatsyah, Ketua Divisi Edukasi dan Pelatihan AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) yang berhasil memberikan ASI berkat dukungan dari Tim Sukses.  Semoga cerita ini dapat menjadi inspirasi setiap keluarga muda untuk memberikan ASI sebagai makanan terbaik untuk bayi : 

Saya sangat menikmati kegiatan menyusui anak saya, Ba’i, hingga dia menyapih sendiri (33 bulan). Bagi saya menyusui bukanlah beban, ataupun kendala, karena saya selalu didampingi dan dukung oleh suami dan keluarga, terutama ibu. Saat Ba’i lahir, pengetahuan saya akan ASI dan menyusui sangat minim. Bekal saya hanyalah tekad, tekad untuk menyusui bayi saya hingga berumur dua tahun.

Bermodal tekad saja ternyata tak cukup, saya merasa masih masih perlu mengumpulkan informasi mengenai ASI serta dukungan dari orang terdekat. Saya merasakan sendiri, kekurangan informasi ternyata berdampak tidak baik bagi saya maupun Ba’i sejak awal kelahiran. Saat itu, saya dan Ba’i sudah dipisahkan sejak kelahirannya. Kami baru bertemu kembali setelah enam jam pasca kelahiran. “Supaya ibu bisa istirahat. Tentunya ibu lelah sekali setelah melahirkan,” begitu kata seorang tenaga kesehatan ketika saya katakan bahwa saya ingin bertemu dengan bayi saya. Minimnya informasi yang saya punya, membuat saya harus pasrah dengan keadaan. Tak hanya itu, sejak awal kelahiran pun Ba’i sudah diberikan susu formula oleh pihak rumah sakit tanpa seijin dan sepengetahuan kami. Ingin marah rasanya.

Adalah suami saya yang berinisiatif untuk memberi perahan kolostrum dan perahan ASI ke ruangan bayi sebelum jadwal minum sufor oleh perawat. Suami mengetok ruangan perawat untuk mengambil pompa dan corongnya, setelah di perah, ASIP langsung di bawa ke ruang bayi dan minta ke susternya untuk segera diberikan langsung ke Ba’i. Hal ini terus dilakukan setiap 2 jam, bahkan tengah malam pun, suami tetap ke ruangan perawat (yang beda lantai) untuk meminta corong yang steril, membangunkan saya untuk memerah dan membawa perahannya ke ruangan bayi. Alhamdulilah, meskipun Ba’I terkena susu formula, tapi dengan semangat suami membantu memberikan ASI perah dan menyemangati saya untuk terus memerah, ASIP saya bisa “menyalip” waktu pemberian sufor.

Permasalahan lain muncul, ketika dokter spesialis anak (DSA) mendiagnosa Ba’i kuning karena kadar bilirubinnya tinggi (padahal setelah saya pelajari, ternyata angka tersebut masih normal). DSA mengatakan penyebab dari kuning karena golongan darah saya dan Ba’i berbeda. Saya B dan Bai O (lagi-lagi setelah saya baca dan konsultasi dengan pakar laktasi, ternyata perbedaan golongan darah B dan O tersebut bukan penyebab jadi kuning, berbedaan rhesus dan golongan darah AB-O yang mungkin dapat menyebabkan bayi kuning, itu pun dengan bilirubin yang langsung tinggi). Dokter kemudian menyarankan saya untuk menghentikan pemberian ASI sampai lima hari dan juga di bluelight. Saat itu DSA ini seperti “menindas” dengan kata-katanya yang menyindir karena saya tetap ingin memberikan ASI. Dia bahkan tidak melihat saya ketika sedang berbicara dan lebih memilih berbicara kepada suami dan ibu saya. Rasanya kesal sekali, merasa tidak di dengar dan tidak di perhatikan. Untung di saat seperti ini suami dan ibu saya terus mendukung saya memberikan ASI.

Ibu saya berpendapat, ”Rasanya tidak mungkin ya, Allah SWT memberikan ‘racun’ untuk mahluk ciptaannya, apalagi yang baru lahir. ASI kan keluar dengan sendirinya setelah ibu melahirkan, berarti itu pemberian Allah SWT untuk bayi melalui sang ibu, jadi memang ASI yang harus diberikan kepada bayi, bukan susu formula”. Dari pemikiran ini, saya dan suami semakin mantap untuk terus menyusui, walaupun setiap hari dokter bilang, “Bu, billirubinnya lebih tinggi dari kemarin, ini karena ibu masih tetap memberikan ASI lho?!” Saya sempat ragu, tapi suami kembali mengingatkan untuk tetap menyusui. Di samping itu, ibu saya pun mencari-cari informasi mengenai bayi kuning ke beberapa temannya yang ber-profesi sebagai dokter. Hasil yang didapat, tenyata justru hanya ASI-lah yang dapat membantu mengeluarkan bilirubinnya. Pemberian susu formula justru akan memperberat kerja pencernaan bayi yang belum sepenuhnya matang, selain itu bayi harus di siangin di bawah sinar matahari yang tidak langsung, di pagi hari. Mendengar ini, saya semakin yakin lagi untuk tetap menyusui Ba’i. Tim sukses saya (suami dan Ibu) telah berhasil membawa saya dari keraguan dan kecemasan di awal kehidupan Ba’i di dunia.

Suami jadi ketua tim sukses

Menurut saya, suami sebagai salah satu pemegang kunci dari keberhasilan menyusui, suami adalah ketua tim suksesnya. Suami saya pernah berkata bahwa ia iri setiap kali melihat saya menyusui Ba’i, karena ada kelekatan/bonding yang sangat dalam dan hal itu tidak dapat ia lakukan bersama Ba’i. Suami saya juga khawatir jika Ba’i akan sedikit lebih “jauh” ke dia dibandingkan ke saya. Memiliki pikiran seperti itu menurut saya sangatlah wajar dan di satu sisi merupakan kebanggaan buat saya sebagai ibu bahwa bonding yang saya miliki dengan Ba’i pada saat menyusui ternyata sangat eksklusif dan tidak dapat tergantikan oleh siapapun dan apapun juga di dunia ini.

Saya pernah membaca buku mengenai “Attachment Parenting” dari William Sears, M.D. dan Martha Sears, R.N, yang menurut saya, dapat menghilakan rasa “ke-iri-an” suami saya. William dan Martha Sears berpendapat bahwa banyak hal dapat di lakukan oleh sang ayah untuk dapat menjadi terikat dengan sang bayi. Salah satunya pada saat menyusui, sang ayah akan mendapatkan keterikatan dengan bayinya pada saat menggendong, mendekap bayinya, menggantikan popok, memandikan, memijat bayinya, sebelum di serahkan ke istrinya untuk di susui. Sang ayah juga dapat merawat istrinya untuk memudahkannya menyusui (seperti melakukan pijat punggung, membuatkan secangkir teh hangat, menyiapkan bantal untuk menyangga punggung istri pada saat menyusui,dll). Membaca ini saja, kita sudah terbayang betapa indahnya suasana yang di penuhi rasa cinta ini. Bagi kita, ibu menyusui, suasana indah ini sangat dapat merangsang hormon oksitosin untuk bekerja melancarkan jalan keluarnya ASI.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com