Dulu, melahirkan dengan seksio sesarea atau bedah caesar adalah momok. Perkembangan teknologi kedokteran kini menjadikan operasi caesar sangat nyaman. Banyak calon ibu kemudian menjadikan caesar sebagai pilihan utama.
Nia (39), ibu dua putra dan satu putri yang tinggal di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, mengaku menyesal karena tiga anaknya lahir normal. Ia mengatakan kini tak lagi percaya diri dan merasa jalan lahirnya telah rusak. ”Kalau bisa mengulang, aku pasti pilih bedah caesar. Sekarang jadi tidak percaya diri banget,” ujar Nia.
Meskipun bisa melahirkan dengan cara normal, Rita (35) juga lebih menyukai caesar. Dari pengalamannya melahirkan dua kali, Rita tidak merasakan sakit nyeri hebat akibat persalinan. Dibandingkan dengan proses kelahiran normal yang bisa 5-10 jam, operasi caesar hanya memakan waktu setengah jam.
Lain pula cerita Juwita (31) yang terpaksa menjalani bedah caesar karena anak keduanya dinyatakan tidak bisa lahir dengan persalinan normal. Setelah bukaan kelima, Juwita sempat menunggu delapan jam dan berharap anaknya bisa lahir normal. ”Bayiku terlalu besar, 4,4 kilogram, akhirnya harus caesar,” katanya.
Jika Rita bisa pulih dari operasi caesar dalam tiga hari, Juwita butuh dua pekan untuk terbebas dari rasa nyeri. Juwita juga harus merogoh kocek lebih dalam karena biaya persalinan caesar tiga kali lebih mahal dibandingkan dengan biaya persalinan normal yang dijalaninya ketika melahirkan anak pertama.
Perkembangan teknologi bedah caesar memang cukup pesat dalam 20 tahun terakhir. Di Rumah Sakit Ibu Anak (RSIA) Bunda, Jakarta, perkembangan teknologi bedah caesar dan teknologi anestesi atau pembiusan sudah setara dengan rumah sakit di luar negeri.
Teknik jahitan hingga kualitas benang dan jarum sudah sangat maju sehingga pasien nyaman. Suntikan dan obat bius bisa memblokade rasa nyeri di otak sehingga pasien tak lagi menjerit kesakitan atau berhalusinasi. Penanganan infeksi hingga teknologi menutup luka dengan plester kedap air sudah sangat baik.
Pasien pun hanya dibius dari pinggang ke bawah sehingga bisa segera memberikan inisiasi menyusui dini pada bayi ketika dokter masih menjahit bekas sayatan bedah. Ini sangat berbeda dengan operasi caesar zaman dulu yang membutuhkan bius total dan bayi pun ikut tertidur pulas akibat bius.
Utamakan cara normal
Direktur RSIA Bunda, Jakarta, Dokter Mirta Widia Irsan mengatakan, perkembangan teknologi bedah caesar ini juga didukung keterampilan yang dikuasai dokter spesialis kebidanan dan kandungan. ”Kami tetap mengutamakan dan mengusahakan kelahiran normal bagi pasien, tapi angka caesar di RSIA Bunda cukup tinggi, 60-70 persen,” kata Mirta.
Idealnya angka operasi caesar di rumah sakit pendidikan mencapai 15-20 persen dan 20-30 persen di rumah sakit rujukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat adanya peningkatan angka persalinan caesar di sejumlah negara. Selama tahun 2007-2008, menurut data WHO, ada 110.000 kelahiran di seluruh Asia dan 27 persen di antaranya dilakukan di meja operasi.
Calon ibu menjadikan bedah caesar sebagai primadona, antara lain, karena alasan takut sakit hingga perhitungan ”hari baik”. Bedah caesar juga semakin didongkrak beragam mitos keliru yang beredar di masyarakat. Mitos itu, antara lain, terkait dengan rusaknya vagina akibat melahirkan, yang sebenarnya tidak perlu ditakutkan.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan, Muh Ilhamy S, SpOG, yang juga menjabat Kepala Subdirektorat Bina Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan menegaskan, caesar tanpa indikasi medis berisiko membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Komplikasi akibat anestesi ataupun pembedahan bisa saja terjadi.
Bedah caesar, menurut Ilhamy, biasanya dilakukan demi keselamatan ibu dan bayi. Namun, ia tak menafikan adanya kemungkinan orangtua mendapat firasat tertentu sehingga lebih nyaman melahirkan caesar.
Caesar dengan indikasi medis dilakukan, antara lain, ketika ibu tidak boleh mengejan karena menderita hipertensi, kejang rahim, ketuban pecah dini, atau ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala bayi.
Caesar juga bisa dilakukan karena faktor kesulitan bayi, seperti berat bayi di atas 4 kilogram, kelainan letak bayi, gangguan tali pusat, dan kelahiran prematur.
Dalam persalinan caesar, ibu bisa mengalami infeksi, luka kandung kemih, hingga pendarahan. Pendarahan rahim yang terjadi tanpa tanda rasa nyeri akibat robekan yang tidak kelihatan bisa membahayakan bayi pada kehamilan berikutnya. ”Semua tindakan operasi ada risikonya. Yang terburuk, caesar bisa menyebabkan rahim cacat,” ujar Ilhamy.
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Supriyantoro mengatakan, angka kematian ibu melahirkan dengan caesar lebih tinggi dibandingkan dengan kelahiran normal. ”Operasi caesar seharusnya dilakukan berdasarkan indikasi medis,” kata Supriyantoro.
Senyaman apa pun, bedah caesar seharusnya tetap menjadi pilihan terakhir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.