Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Imunisasi Tak Lengkap Dapat Timbulkan Wabah

Kompas.com - 19/10/2011, 03:03 WIB

IRWAN JULIANTO

Joseph Stalin, pemimpin Uni Soviet, pernah menyatakan, kalau cuma satu-dua orang yang mati, itu boleh jadi tragedi, tetapi kematian sejuta orang adalah statistik.

Pernyataan Stalin itu rasanya berlaku jika kita membicarakan statistik kematian anak balita di Indonesia oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Di Indonesia, saat ini, dalam setahun diperkirakan ada 1,7 juta kematian pada anak atau 5 persen pada anak balita adalah akibat PD3I, yaitu campak, polio, difteri, pertusis (batuk rejan), tetanus, dan tuberkulosis.

Khusus untuk campak, setiap 20 menit satu anak Indonesia meninggal akibat komplikasi campak. Dr Soedjatmiko, SpA, Sekretaris Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, mengingatkan, jangan anggap enteng campak karena dapat mematikan. Mereka umumnya meninggal karena komplikasi di paru dalam wujud pneumonia atau komplikasi di pencernaan yang menyebabkan diare.

Imunisasi campak tambahan pada tahun 2005-2007 di Indonesia masih menyisakan 30-40 persen anak berisiko terkena campak. Indonesia termasuk satu dari 47 negara yang mendapat pengawasan WHO dan Unicef akibat tingginya kasus campak. Penyakit akibat virus ini sangat mudah menular melalui ludah, bersin, batuk, atau kotoran penderita. Rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan badan dan lingkungan membuat penyakit ini mudah menular ke siapa saja, bahkan ke mereka yang sudah mendapatkan imunisasi.

Anak yang sudah divaksin campak tidak 100 persen terbebas dari campak karena efektivitas imunisasi campak yang diberikan kepada anak usia 9-59 bulan ini hanya 85 persen. ”Namun, risiko komplikasi pada anak yang sudah diimunisasi lebih ringan daripada jika tidak diimunisasi,” kata dr Soedjatmiko.

Menyadari masih tingginya risiko anak-anak Indonesia terjangkit dan bahkan meninggal karena campak, Kementerian Kesehatan mencanangkan Kampanye Pemberian Imunisasi Tambahan Campak dan Polio mulai 18 Oktober 2011 hingga 18 November 2011 yang mencakup 17 provinsi (semua provinsi di Kalimantan dan Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara Barat, Lampung, serta provinsi-provinsi di Jawa, kecuali Banten dan Daerah Istimewa Yogyakarta). Kampanye tahun ini, yang merupakan tahap ketiga, diharapkan dapat mencapai lebih dari 15 juta anak balita atau sekitar 65 persen bayi dan anak balita di Indonesia. Kampanye tahap pertama tahun 2009 di tiga provinsi dan tahun 2010 berlangsung di 11 provinsi.

Mudah-mudahan anak-anak tidak hanya dipandang sebagai statistik atau karena Indonesia dikejar target salah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs), yaitu menurunkan angka kematian anak hingga separuh pada tahun 2015.

Bebas polio?

Tahun 1995-1997, Indonesia mengadakan perhelatan besar, yaitu Pekan Imunisasi Nasional, dengan kemasan pemasaran sosial yang luar biasa apik hasil rancangan kreatif Matari Advertising. Tahun 1996, Departemen Kesehatan waktu itu sesumbar bahwa tahun 2000 Indonesia bakal bebas polio. Nyatanya, tahun 2005, terjadi ledakan (outbreak) infeksi virus polio liar dari mancanegara di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Karena itu, walau kasus polio liar terakhir ditemukan pada tahun 2006, tidak berarti Indonesia bisa mengklaim telah bebas polio. Imunisasi polio lengkap harus terus diberikan. Tak kurang dari Menteri Kesehatan Dr Endang R Sedyaningsih mengakui, jumlah anak yang tidak memperoleh atau tidak terjangkau imunisasi polio terus meningkat. Tahun 2011 ada 4 persen anak yang tak memperoleh imunisasi polio dan 9 persen tidak terjangkau. Ini berisiko menimbulkan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) polio.

Vaksin polio yang diteteskan diberikan kepada anak berusia 0-59 bulan. Polio disebabkan virus poliomyelitis yang menyerang inti sel saraf. Umumnya polio menimbulkan kecacatan, tetapi bisa juga kematian walaupun tidak setinggi campak.

Berita terakhir adalah ledakan atau KLB difteri di Jawa Timur yang sejak Januari 2011 hingga Oktober 2011 menjangkiti tak kurang dari 328 anak dan menewaskan 11 di antaranya. Hal ini disebabkan ada resistensi masyarakat terhadap imunisasi anak. Gara-gara outbreak ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus mengeluarkan dana tambahan Rp 8 miliar dan Kementerian Kesehatan juga mengeluarkan belasan miliar rupiah.

Dalam pertemuan tingkat tinggi Kementerian Kesehatan, WHO, dan para pejabat pemprov dari seluruh Indonesia di Jakarta, 14 Oktober lalu, terungkap bahwa di sejumlah provinsi mulai ada keengganan, bahkan penolakan, masyarakat untuk mengimunisasikan anak-anak mereka. Muncul rumor bahwa vaksin-vaksin untuk PD3I plus hepatitis B tidak aman dan tidak halal karena buatan negara maju untuk melemahkan rakyat Indonesia. Diisukan pula imunisasi itu tak perlu karena tak sesuai dengan ajaran agama.

Ini semuanya tantangan. Masyarakat perlu diyakinkan lagi bahwa imunisasi anak terbukti aman dan efektif, dan itu dilakukan di semua negara di dunia. Vaksin yang dipakai di Indonesia buatan Biofarma yang bahkan sudah diekspor ke 110 negara.

Jika bayi atau anak balita tak diimunisasi atau tak lengkap imunisasinya, ia tidak saja berpotensi sakit, tetapi dapat pula menimbulkan wabah seperti difteri di Jawa Timur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com