Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buah Lokal yang Terjungkal

Kompas.com - 21/10/2011, 19:58 WIB

KOMPAS.com - Lihatlah sekeranjang buah atau tataplah deretan buah di balik etalase toko. Menggiurkan, menggoda mata, dan menggugah selera. Ah, sayang di negeri kaya ini, buah cantik dan menggiurkan itu kebanyakan buah impor.

Di supermarket premium Ibu Kota hingga ke pasar kota kecamatan di banyak daerah, buah-buahan impor mudah didapat. Saat mengantar buah untuk kerabat pun, buah impor lebih kerap dipilih. Kombinasi apel, pir, anggur, dan jeruk, misalnya -sebagian besar buah impor-ditenteng Dewi (34), pegawai negeri sipil di Kota Solo, Jawa Tengah, untuk buah tangan bagi relasi kantor.

”Kalau untuk relasi, tampilan buahnya penting. Nah, yang tampilannya enak dilihat, kan, buah impor. Kalau untuk dimakan sendiri di rumah, lebih penting rasa dan kandungan gizinya, itu biasanya saya pilih yang lokal,” ujar Dewi.

Buah impor tidak saja memasuki ranah konsumsi, tetapi juga menusuk ke dalam hal yang lebih substansial, seperti ritual. Di Bali, kini sebagian warga lebih suka menggunakan buah impor sebagai bahan sajen dalam upacara. Dikatakan oleh dosen Institut Hindu Dharma, I Ketut Sumadi, jika mempersembahkan buah impor, warga merasa sesajinya lebih ”berkelas” karena buah impor biasanya lebih mahal ketimbang buah lokal. Secara sosial, jika persembahan lebih mahal, yang mempersembahkan pun merasa ”kelas” sosialnya lebih tinggi.

”Bahkan ada pandangan doanya lebih sampai kalau menggunakan buah impor ketimbang buah lokal,” kata doktor kajian budaya dari Universitas Udayana, Denpasar, itu. Padahal, inti persembahan kepada Tuhan adalah dengan tulus mempersembahkan apa yang kita miliki, berarti juga apa yang tumbuh di sekitar kita.

Namun, perubahan lingkungan seolah tak sejalan lagi dengan ajaran itu. ”Banyak tanah sudah berubah jadi rumah, tidak mungkin menanam buah atau bunga lagi. Jadi, mereka semua membeli sekarang. Saat itulah hukum pasar berlaku. Di pasar, buah impor dominan, itulah yang dipersembahkan,” ujar Sumadi.

Di luar lingkup rumah tangga, buah-buahan juga menjadi bahan baku industri makanan dan minuman. Di Indonesia, industri ini berkembang baik. Namun, dalam skala besar industri, buah-buahan -atau konsentrat buah- yang jadi bahan baku pun diimpor.

”Untuk minuman ringan sari buah yang diproduksi perusahaan besar, hampir semua bahan bakunya impor karena kontinuitas pasokan harus terjamin. Standardisasi juga ketat, tidak bisa rasa asam dan manisnya beda tergantung musim,” ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Franky Sibarani.

Buah-buahan impor yang menjadi bahan baku industri ini umumnya dihasilkan perkebunan besar, bukan kebun rakyat. Pada perkebunan besar, sentuhan teknologi diaplikasikan dari penanaman hingga pascapanen sehingga kontinuitas pasokan serta standardisasi rasa dan bentuk buah bisa didapat.

Tersisih
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang dikelilingi lautan, mempunyai curah hujan tinggi dan cahaya matahari sepanjang tahun, ditambah tanah vulkanik yang subur. Karena itu, keanekaragaman hayati di negeri ini amat kaya, juga untuk buah-buahan tropis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com