Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi Garam di Negeri Bahari

Kompas.com - 25/10/2011, 13:10 WIB

Oleh: Anwar Hudijono
   Pulau Madura juga disebut ”Pulau Garam”. Sekitar 90 persen dari sekitar 1,3 juta ton produksi garam nasional berasal dari sini. Masyarakatnya memiliki kultur budidaya garam yang kuat sekaligus pernah mencapai kejayaan hebat. Namun, kini garam dalam bingkai nasib mereka menjadi terasa getir.
   Muhson menghela napas. Ia angkat bahunya yang legam tembaga karena terbakar matahari. Tatkala kedua tangannya dikacak di pinggang, terlihat urat-uratnya yang membujur menyilang di tangannya bagaikan sepuak ular. Butiran-butiran peluh meleleh dari tubuhnya bagaikan es loli.
   Setelah menekuk pinggangnya ke kiri dan kanan sekali dua, ia kembali memegang sorok atau alat pengeruk garam yang terhampar di petak terakhir lahan garamnya. Garam itu kemudian dikumpulkan di pinggir petak untuk selanjutnya dimasukkan ke karung dan dibawa ke pinggir jalan sejauh sekitar 300 meter. Berkarung-karung garam tersebut ditumpuk menunggu pembeli datang.
   Pada saat matahari bergulir mendekati garis cakrawala barat, Muhson duduk di gubuknya berukuran sekitar 2,5 meter x 1 meter.
   ”Panen garam saya itu kurang berhasil,” kata Muhson (70), petani garam Desa Pandan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, akhir September 2011. ”Karena kekurangan air, garam saya hanya mencapai kualitas dua. Tidak bisa mencapai kualitas satu. Jumlahnya sekitar 5 ton. Saya tidak tahu rugi apa tidak,” katanya.
   Harga garam kualitas dua di tingkat petani hanya Rp 380.000 per ton atau lebih rendah dari harga patokan pemerintah yang Rp 550.000 per ton. Adapun kualitas satu hanya dihargai Rp 550.000 per ton, sementara patokan pemerintah adalah Rp 750.000 per ton. Jika panenan total 5 ton, Muhson akan memperoleh pendapatan kotor sebesar Rp 1.900.000.
   Biaya produksi antara lain sewa mesin pompa air Rp 100.000, premium untuk pompa Rp 45.000, ongkos keruk garam Rp 200.000, ongkos angkut dari lahan ke pinggir jalan Rp 150.000, serta biaya makan dan rokok pekerja Rp 75.000. Total Rp 570.000.
   Dengan demikian, pendapatan bersih Rp 1.330.000. Karena Muhson berstatus petani penggarap, hasil bersih tersebut dibagi dua dengan pemilik tanah, Muhsin, perolehannya Rp 665.000. Jika garam itu dikerjakan dalam waktu 15 hari, pendapatan Muhson per hari adalah Rp 44.000.
   Semula Muhson berharap tahun ini panenan garamnya melimpah karena cuaca bagus. Sebagai ganti gagal panen tahun 2010 akibat anomali iklim, hujan terus-menerus. Namun, ternyata, iklim tidak menjadi satu-satunya penentu tingkat produksi, tetapi juga faktor bukan alam, seperti infrastruktur pegaraman dan sistem tata niaga.

Kesulitan air
   Muhson mengambil benih pegaraman, yaitu air laut, dari saluran primer Kalimati.
   ”Airnya sedikit sehingga tidak bisa diambil dengan menggunakan kincir angin,” katanya. Padahal, bagi Muhson dan ribuan petani garam lainnya yang menggunakan sistem Maduranis, kincir angin adalah alat utama untuk menaikkan air laut ke lahan pegaraman. Alat ini tidak membutuhkan biaya karena digerakkan oleh angin. Kebetulan alam memberikan keuntungan Madura bagian timur berupa angin bohorok dari daerah Besuki yang bertiup bulan Juli hingga November.
   Memang masih ada juga yang menggunakan timba pengungkit seperti Sayeti (70), petani garam Desa Pinggirpapas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Namun, cara ini menguras tenaga manusia.
   Akhirnya, Muhson terpaksa menyewa mesin pompa. Namun, karena biaya sewa dan bahan bakarnya dianggap tidak sepadan dengan hasil, banyak petani tidak mau menggunakan cara ini, seperti Sodikin, yang lokasi lahannya bersebelahan dengan Muhson. Lebih baik dibiarkan kering sampai air laut pasang pada pertengahan Oktober mendatang sehingga permukaan air di Kalimati juga akan naik.
   Pada saat demikian, sebenarnya Muhson mengharap dana Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) Kementerian Kelautan dan Perikanan turun untuk biaya sewa pompa. Namun, sudah dua bulan sejak dia membuka rekening sebagai persyaratan terakhir memperoleh kucuran dana itu, ternyata hanya pepesan kosong.
   Dana Pugar di Jawa Timur total Rp 32,1 miliar untuk 547 kelompok tani dengan total anggota 2.908 orang, luas yang dijangkau Pugar 9.267,13 hektar. Setiap petani memperoleh dana Pugar sampai Rp 5 juta.
   Seperti Muhson, banyak petani yang juga belum menerima. Kalaulah ada yang menerima seperti di Sumenep, jumlahnya hanya Rp 3 juta per orang. Itu pun terlambat karena mestinya petani membutuhkan saat penggarapan lahan pada Mei-Juni. Nyatanya baru cair pada September. ”Akhirnya, dana Pugar itu lebih untuk kebutuhan konsumtif,” kata Arifin, petani Saronggi, Sumenep.
 
Infrastruktur
   Buruknya infrastruktur saluran air merupakan fenomena umum pegaraman rakyat. Sebenarnya petani mengharap kemurahan PT Garam untuk meminjamkan salurannya bagi pasokan air. Namun, PT Garam, yang memang hubungannya dengan petani tidak baik, menolak permohonan petani.
   Kepala Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep Sri Harjani mengakui, memang belum pernah ada perbaikan ataupun pembuatan saluran air laut untuk pegaraman rakyat. Pembuatan saluran baru dan perbaikan hanya milik PT Garam.
   Jika mau menjadikan garam ini sebagai komoditas strategis, hendaknya pemerintah membuat badan penyangga semacam Bulog. PT Garam memang diharapkan menjadi penyangga. Namun, Direktur Utama PT Garam Slamet mengatakan bahwa PT Garam adalah badan usaha milik negara dengan fungsi tidak sama dengan Bulog. Mau melakukan pembelian ke petani, tetapi dengan harga pasar.
   Walhasil, usaha garam rakyat selalu berada dalam gelombang ketidakpastian. Amburadul. Dalam menghadapi kekurangan garam sekitar 2,1 juta ton per tahun, pemerintah pun memilih cara instan, yaitu impor. Meskipun demikian, impor garam sebenarnya menjadi ironi bagi sebuah negeri bahari dengan garis pantai terpanjang nomor 4 di dunia dan sebagian penduduknya memiliki kultur budidaya garam yang kuat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com