Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bioresonansi, Tes Alergi Tak Direkomendasikan

Kompas.com - 22/02/2012, 10:22 WIB

Sebagai terapi alternatif, bermanfaatkah ?

Pesatnya perkembangan teknologi  yang menunjang ilmu kedokteran telah membawa banyak perubahan dalam penatalaksanaan penanganan penyakit. Namun sayangnya, perkembangan teknologi atau kecanggihan alat teknologi di bidang kedokteran tersebut belum tentu menggambarkan keberhasilannya. Memang, banyak alat tehnologi canggih yang terbukti secara klinis dapat membantu pengobatan di bidang kedokteran seperti CT scan, MRI, ultrasound 4 dimensi dan sebagainya. Tetapi banyak alat canggih lainnya ternyata tidak terbukti secara klinis berperanan dalam bidang kedokteran.

Mengapa terapi bioresonansi dianggap sebagai terapi alternatif ? Bioresonansi adalah pendekatan terapi berdasarkan ilmu biofisika. Mungkin sampai tahap ini tidak masalah, menjadi masalah ketika digunakan sebagai alat diagnosis alergi apalagi sebagai terapi alergi. Mekanisme penyakit alergi adalah adanya paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T.

Sel-T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus,yang pada anak atopi cenderung terbentuk IgE lebih banyak. Selanjutnya terjadi sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran nafas dan kulit. Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi pada IgE yang telah melekat pada sel mast atau komplek IgE-Alergen terjadi ketika IgE masih belum melekat pada sel mast atau IgE yang telah melekat pada sel mast diaktifasi oleh pasangan non spesifik, akan menimbulkan degranulasi mediator. Sehingga secara klinis, pengukuran petanda alergi hanya dengan menggunakan tes kulit atau IgE spesifik. Meskipun alat diagnosis ini belum memastikan penyebab alergi, karena harus dikonfirmasikan dengan tahapan eliminasi provokasi yang sebagai alat diagnosis baku emas (gold standard). Sedangkan pada pemeriksaan bioresonansi sebagai alat diagnosis tidak mengikuti kaidah imunopatofisiologis seperti tersebut di atas.

Sebagai alat terapipun bioresonansi menyimpang dari kaidah ilmu kedokteran. Terapi alergi yang ideal adalah mengidentifikasi dan menghindari penyebabnya. Sedangkan obat-obatan adalah mengurangi respon inflamasi tubuh yang disebabkan meningkatnya mediator yang ada dalam reaksi alergi. Mekanisme yang terjadi dalam terapi bioresonansi juga menyimpang dari pathogenesis tersebut.

Dalam menilai keberhasilan terapi, biasanya dengan menilai pengalaman medis berbasis bukti. Yang paling mudah adalah mencari bukti penelitian yang diakui oleh komunitas kedokteran adalah jurnal-jurnal yang dimuat dalam Pubmed yang dapat diakses secara online. Sampai saat inipun dalam jurnal yang dimuat dalam pubmed tidak ada satupun penelitian yang mendukung keberhasilan alat diagnosis dan alat terapi bioresonansi.

Memang mungkin terdapat beberapa kesaksian bahwa dengan penanga alat tersebut keluhan membaik, tetapi kita belum tahu apakah juga banyak penderita yang tidak berhasil. Keluhan penderita yang membaikpun, tampaknya juga dikarenakan penderita harus menghindari makanan tertentu yang dicurigai sebagai penyebab alergi. Yang menjadi masalah adalah akurasi alat tersebut. Seperti misalnya dikatakan dengan alat tersebut bahwa penderita mengalami alergi nasi. Kalau diagnosis tersebut tidak benar, alangkah malangnya seumur hidupnya penderita dilarang makan nasi.

Berdasarkan berbagai kajian ilmiah tersebut maka berbagai institusi alergi dunia dan internasional tidak merekomendasikan dan menolak dengan keras penggunaan tes alergi yang bersifat unproven, unorthodox dan alternative sebagai alat diagnosis dan alat terapi pada penderita alergi. Institusi tersebut adalah ASCIA (The Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy), WAO (World Allergy Organization), AAAI (The American Academy of Allergy, Asthma and Immunology) dan berbagai institusi internasional lainnya. Secara faktual hal itu juga dapat dilihat bahwa pengguna alat bioresonansi bukan dokter yang ahli dan berkopeten di bidang alergi, seperti spesialis anak alergi atau spesialis penyakit dalam alergi. Tetapi digunakan oleh dokter atau klinisi diluar bidang tersebut seperti sebagian dokter umum, dokter penyakit dalam, dan sebagainya. Tampaknya sampai saat ini tidak ada satupun dokter spesialis alergi anak dan alergi dewasa yang menggunakan alat tersebut.

Berbahayakah diagnosis dan terapi alternatif ?

Penggunaan terapi alternatif secara klinis masih belum diteliti secara menyeluruh tentang manfaat dan efek sampingnya. Sehingga seringkali klinisi tak bisa mengungkapkan kemungkinan bahaya penggunaan terapi alternatif. Bagaimana dengan terapi alternatif atau biresonansi, berbahayakah? Sampai saat ini pun masih belum ada penelitian klinis yang dapat membuktikan efek samping dan bahaya alat tersebut. Kalaupun nantinya mungkin pendekatan terapi tersebut tidak menimbulkan efek samping tetapi ternyata membuat penanganan penyakit alergi semakin tidak jelas dan memperburuk perjalanan penyakit dan timbulnya komplikasi dari penyakit yang tidak terkendali dengan baik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com