Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merokok Bukan Hak Asasi Manusia

Kompas.com - 21/04/2012, 02:49 WIB

Jakarta, Kompas - Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi Indonesia tahun 2005 menjamin hak setiap orang menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental. Namun, lemahnya perlindungan warga negara dari paparan bahaya asap rokok membuat hak itu belum terpenuhi.

”Merokok itu hak, bukan hak asasi manusia karena mereka yang tidak merokok tidak akan kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia,” kata Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim saat menerima audiensi sejumlah penggiat antitembakau dan korban rokok yang tergabung dalam Jaringan Pengendalian Tembakau Indonesia di Jakarta, Jumat (20/4).

Wakil Ketua Lembaga Hubungan Luar Negeri Muhammadiyah Sudibyo Markus menambahkan, merokok tidak tercantum dalam hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 justru menjamin hak setiap orang mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Indonesia merupakan salah satu negara penginisiasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) yang digagas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Konvensi ini bertujuan mengendalikan dampak buruk rokok di seluruh dunia.

Saat konvensi ini disahkan pada 2003, Indonesia justru tidak menandatangani. Kini, sudah 174 negara menandatangani FCTC. Indonesia tercatat sebagai satu- satunya negara Asia Pasifik yang belum menandatangani.

Belum ditandatanganinya FCTC membuat Indonesia melanggar Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang sudah diratifikasi dalam UU No 11/2005.

Belum optimal

Menurut Ifdhal, pemerintah belum optimal melindungi hak kesehatan warga, termasuk dari bahaya asap rokok. Padahal, UU No 36/2009 tentang Kesehatan secara gamblang menyebut kewajiban itu. Namun, aturan pelaksanaan UU itu belum memberikan perlindungan maksimal.

”Negara kalah oleh intervensi kepentingan pemodal besar, yaitu industri tembakau,” katanya.

Sejak tahun 2010, pemerintah membahas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Namun, kesepakatan antarmenteri yang diperoleh Kamis (19/4) justru makin menjauhkan dari semangat melindungi kesehatan warga.

Ketentuan yang kontroversial antara lain peringatan bergambar dan tulisan tentang bahaya rokok yang hanya 40 persen (usulan Kementerian Kesehatan 50 persen) atau ukuran iklan media luar ruang maksimum 72 meter persegi (usulan Kemenkes 16 meter persegi).

Ifdhal menambahkan, pelanggaran kovenan memang tidak ada sanksinya. Namun, pelaksanaan kovenan dipantau komite internasional tiap tiga tahun sekali. Jika ada hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang belum terlindungi, komite akan memberikan rekomendasi perbaikannya, termasuk memantau pelaksanaan rekomendasi tersebut.

Karena FCTC sudah berlaku sejak tahun 2005, kesempatan yang terbuka bagi Indonesia adalah mengaksesi FCTC.

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohamad mengatakan, sejumlah kementerian mengusulkan aksesi FCTC, tetapi tidak pernah terlaksana. Jika usulan aksesi melalui pemerintah sulit, usulan aksesi perlu didorong langsung melalui hak inisiatif DPR.

Ifdhal mengatakan, aksesi FCTC penting untuk melindungi generasi mendatang dari bahaya rokok. Jika tak segera dilakukan, sama artinya negara membunuh rakyatnya pelan-pelan.

Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebut prevalensi perokok berumur di atas 15 tahun mencapai 34,7 persen. Jika pada tahun itu ada 169 juta orang berumur di atas 15 tahun, jumlah perokok di Indonesia 58,6 juta orang atau hampir setara penduduk Italia.

Survei Global Tembakau pada Pemuda di Indonesia tahun 2006 menunjukkan, 6 dari 10 pelajar berusia 13-15 tahun terpapar asap rokok di rumah. Sebanyak 37,3 persen pelajar tingkat SLTP sudah biasa merokok dan 3 dari 10 pelajar mulai merokok di bawah usia 10 tahun.

Hadir dalam pertemuan tersebut sejumlah korban rokok, baik perokok aktif maupun pasif. Mereka umumnya menderita kanker nasofaring (hulu kerongkongan yang berhubungan dengan hidung). Akibatnya, pita suara mereka diangkat. Untuk berbicara mereka dibantu dengan alat khusus sehingga suaranya mirip robot. Indera penciuman mereka juga tak berfungsi. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com