Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Istri Mengalami Gangguan Jiwa?

Kompas.com - 29/04/2012, 02:32 WIB

AGUSTINE DWIPUTRI

Saudara saya pria HK 31 tahun, menikah dengan SU, teman semasa SMP dengan usia yang sama. Mereka berpacaran 6 bulan. Saat ini mereka telah dikaruniai anak laki-laki berusia 6 bulan.

Menurut HK, sejak berpacaran, mereka telah sering bertengkar yang sering kali dipicu oleh salah pengertian dan sikap cemburu dari SU. Jika SU marah, dia akan berteriak-teriak dan memaki tanpa memperhatikan kondisi di sekitarnya sehingga HK menjadi malu. Kadang HK terpaksa mengakui apa yang dituduhkan sekadar untuk meredam kemarahan SU. HK adalah sosok pria sabar. Sejak berpacaran, sebenarnya HK sudah melihat tanda-tanda ketidakcocokan, tetapi dia berpikir, mungkin setelah menikah SU akan berubah tabiat buruknya.

Awal Maret 2012 terjadi pertengkaran hebat, dan HK dituding tidak bertanggung jawab dalam membina rumah tangga, masih sangat berlindung di bawah naungan ibunya. SU bersikap tidak hormat karena menunjuk-nunjuk ibu mertuanya dan merendahkan SU ataupun keluarganya.

Memang, HK yang seorang guru honorer, secara finansial masih sangat bergantung pada ibu dan saudara-saudaranya. Pascapertengkaran, SU meminta HK memilih dirinya atau ibunya. Jika HK memilih ibunya, dia minta diceraikan. Saat ini, SU beserta anaknya sudah tinggal bersama orangtua SU, dan telah sepakat untuk mengajukan gugatan cerai. Kedua pihak keluarga sudah menyetujui untuk perceraian, walau ibu HK meminta waktu 3 bulan untuk melihat apakah pernikahan anaknya masih dapat dipertahankan.

Yang sekarang dipikirkan oleh HK adalah anak mereka. Dia sama sekali tidak lagi mencintai SU. Dengan asumsi, SU mengalami gangguan kejiwaan. HK sangat khawatir jika anaknya yang ada di tangan ibunya akan melampiaskan kemarahan dengan menjelek-jelekkan HK di depan anak. HK sangat berharap agar SU tidak melakukan kekerasan fisik terhadap darah dagingnya. HK menyadari, perceraian akan memunculkan masalah psikologis pada anak. Ibu HK bersedia mengasuh dan membiayai cucunya dan sangat ingin agar anak tersebut dapat diasuh olehnya. Akan tetapi, mengingat masih membutuhkan ASI, anak tersebut sangat tidak mungkin diasuh HK dan ibunya.

Sejak pisah rumah, HK tidak mendatangi rumah mertuanya ataupun menengok anaknya. Dia berpikir, jika dia datang, SU akan marah besar, lagi pula SU mencegah HK untuk melihat anaknya. SU sering mengirim SMS HK dengan pesan memaki-maki, mengancam akan mengakhiri karier HK sebagai guru honorer yang sedang berupaya menjadi CPNS, tetapi hal ini tidak ditanggapi HK. Kadangkala ada SMS yang mengatakan dia masih mencintai HK dan bertanya mengapa tidak kangen pada anaknya, tetapi sering juga meminta agar segera mengajukan gugatan perceraian.

Menurut orangtuanya, temperamen SU dimulai sejak SMP, dan mereka sendiri kewalahan jika dia sudah marah. Pertanyaan kami, apakah SU mengalami gangguan kejiwaan?

Kalau ya, sudah pada tingkat apa dan apakah dapat diterapi agar rumah tangganya dapat dibina lagi?

Terima kasih. (IS)

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com