”Rancangan peraturan pemerintah (RPP) ini dapat menjadi pengaman bonus demografi dari bahaya rokok,” kata peneliti Lembaga Demografi, Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, di Jakarta, Jumat (25/5).
Bonus demografi ditandai rendahnya beban ketergantungan penduduk tak produktif (orang lanjut usia dan anak-anak) terhadap penduduk usia kerja. Ini kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tiap bangsa diyakini hanya sekali mengalaminya.
Di Indonesia, bonus demografi diperkirakan terjadi tahun 2020- 2030. Saat itu, tiap 100 penduduk usia kerja menanggung 44 orang tak produktif. Maknanya, dalam satu keluarga terdapat 3 orang bekerja dengan satu anak.
Namun, potensi ini terancam oleh lonjakan kasus penyakit tak menular, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. Semula penyakit ini identik pada orang tua. Kini, makin banyak orang muda mengalaminya.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan, Ekowati Rahajeng mengatakan, 59,5 persen kematian tahun 2007 dipicu oleh penyakit tidak menular. Padahal, tahun 1995 baru 41,7 persen.
”Salah satu faktor risiko penyakit tidak menular adalah merokok,” ujarnya.
Kondisi ini diperparah makin banyaknya perokok remaja. Prevalensi perokok laki-laki umur 15 tahun-19 tahun naik dari 13,7 persen tahun 1995 menjadi 37,3 persen tahun 2007. Perokok remaja putri pada umur yang sama naik dari 0,3 persen menjadi 1,6 persen pada waktu yang sama.
Padahal, para remaja ini akan menjadi tulang punggung ekonomi negara saat bonus demografi terjadi. Jika di usia muda sudah menderita aneka penyakit tidak menular, dipastikan beban kesehatan negara membesar.
”Penyakit tidak menular bersifat kronis, butuh biaya besar untuk mengobatinya,” katanya.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.